Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tak Prioritaskan RUU Perampasan Aset: Efek Jera Kian Terjeda

21 November 2024   08:06 Diperbarui: 21 November 2024   08:06 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DPR dan pemerintah sepakat, RUU Perampasan Aset tak jadi prioritas.(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

RABU PAGI. Kopi tanpa gula mengepul di meja. Singkong kukus belum selesai dikunyah mendadak terlempar ke tanah. Mata rileks membelalak membaca judul berita Kompas, "DPR dan Pemerintah Sepakat Tak Prioritaskan RUU Perampasan Aset".

Menafsirkan kata-kata di bawahnya, RUU Perampasan lagi-lagi tidak menjadi bahasan prioritas. Ia masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah tahun 2025 hingga 2029.

Bisa-bisa keburu usai jabatan Prabowo-Gibran ketika RUU baru disahkan. Jika pengesahannya tidak tertunda lagi, ya!

Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah menggeser skala prioritas pembahasan RUU Perampasan Aset, dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Prolegnas pada Senin (18/11/2024).

Padahal, apabila disahkan akan menjadi dasar hukum bagi pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, serta kejahatan berdimensi ekonomi seperti penghindaran pajak, penipuan, penggelapan, pengrusakan lingkungan, perdagangan orang.

Semangat perampasan aset mengadopsi istilah pemulihan (recovery) yang dimuat dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) menggagas pembentukan RUU pada tahun 2003 (sumber). 

PBB membentuk Konvensi Anti Korupsi tersebut pada tahun 2003. Tujuannya, melakukan kerja sama internasional demi mencegah dan menghapus korupsi di seluruh dunia. Konvensi meliputi tindakan pencegahan, kriminalisasi dan penegakan hukum, kerja sama internasional, pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi (worldbank.org). 

Melalui UU No 7 tahun 2006, Indonesia meratifikasi UNCAC pada 18 April 2006 (setneg.go.id). Maka pengesahan RUU bersifat mandatory.

Legalisasinya menghadapi jalan berliku. Sempat tercantum dalam daftar Prolegnas 2005-2009 dan menjadi prioritas di tahun 2008. Masuk lagi ke daftar Prolegnas kurun waktu 2010-2014. Sekali lagi, masuk rencana pembahasan 2015-2019. Pernah diusulkan masuk Prolegnas tahun 2020. Berkali-kali DPR menolaknya.

Berkat surat Presiden Jokowi kepada DPR, melalui Surpres R22/Pres/2023, RUU itu masuk daftar Prolegnas prioritas tahun 2023 (sumber).

Rupanya, RUU Perampasan Aset melewati jalan berliku penuh onak duri dan berbatu. Baru-baru ini, Lembaga legislatif tidak memasukkannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas. Bahkan melelemparkannya ke Prolegnas jangka menengah periode 2025-2029.

Beberapa pihak menyayangkan kesepakatan dan mempertanyakan komitmen DPR dan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Salah satunya adalah Zaenur Rohma, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, yang mengatakan bahwa tak memprioritaskan RUU  Prolegnas membuktikan lemahnya komitmen antikorupsi para elit.

Seperti yang sudah-sudah, anggota DPR berdalih bahwa banyak hal mesti diperbaiki dan ditelaah lebih dalam lagi. Pemerintah dan DPR sepakat tidak mau terburu-buru.

Menurut peneliti Transparancy International Indonesia, Alvin Nicola, pengesahan RUU Perampasan Aset dapat membantu memulihkan kerugian negara dan meningkatkan efek jera.

Kerugian negara yang timbul akibat kejahatan korupsi dan tindak pidana berdimensi ekonomi lainnya.

Meningkatkan efek jera, maka pejabat publik atau ASN akan berpikir seribu kali memperkaya diri melalui penyalahgunaan kedudukan dan kewenangannya.

Dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, bisa-bisa harta haram itu disita seluruhnya demi memulihkan kerugian negara.

Bisa jadi mereka harus mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan jahat, kendati harus menghabiskan seluruh kekayaannya. Jadi miskin.

Menjadikan miskin koruptor dan mereka yang merugikan keuangan negara adalah harapan saya. Entah Anda, para pembaca.

Namun, kesepakatan tidak mengutamakan RUU Perampasan Aset dan menundanya membuat harapan bagai mimpi siang bolong.

Efek jera yang bakal membuat kapok para koruptor tertunda pengesahannya. Terputus-putus dan kian terjeda untuk dibahas oleh para anggota dewan yang terhormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun