Rupanya, RUU Perampasan Aset melewati jalan berliku penuh onak duri dan berbatu. Baru-baru ini, Lembaga legislatif tidak memasukkannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas. Bahkan melelemparkannya ke Prolegnas jangka menengah periode 2025-2029.
Beberapa pihak menyayangkan kesepakatan dan mempertanyakan komitmen DPR dan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Salah satunya adalah Zaenur Rohma, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, yang mengatakan bahwa tak memprioritaskan RUU Â Prolegnas membuktikan lemahnya komitmen antikorupsi para elit.
Seperti yang sudah-sudah, anggota DPR berdalih bahwa banyak hal mesti diperbaiki dan ditelaah lebih dalam lagi. Pemerintah dan DPR sepakat tidak mau terburu-buru.
Menurut peneliti Transparancy International Indonesia, Alvin Nicola, pengesahan RUU Perampasan Aset dapat membantu memulihkan kerugian negara dan meningkatkan efek jera.
Kerugian negara yang timbul akibat kejahatan korupsi dan tindak pidana berdimensi ekonomi lainnya.
Meningkatkan efek jera, maka pejabat publik atau ASN akan berpikir seribu kali memperkaya diri melalui penyalahgunaan kedudukan dan kewenangannya.
Dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, bisa-bisa harta haram itu disita seluruhnya demi memulihkan kerugian negara.
Bisa jadi mereka harus mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan jahat, kendati harus menghabiskan seluruh kekayaannya. Jadi miskin.
Menjadikan miskin koruptor dan mereka yang merugikan keuangan negara adalah harapan saya. Entah Anda, para pembaca.
Namun, kesepakatan tidak mengutamakan RUU Perampasan Aset dan menundanya membuat harapan bagai mimpi siang bolong.