Caranya? Kita tunggu hasil nyata selama periode pemerintahan baru.
Dalam kacamata saya yang sempat "bergaul" dengan instansi pemerintahan, perolehan hingga pelaksanaan dan pemeriksaan maka proyek akan sarat dengan praktik KKN.
Terseret arus KKN lantaran sekian tahun saya mengerjakan proyek di tiga Kementerian, satu Lembaga Pemerintah nonkementerian, dan satu Pemkab. Terbiasa melakukan KKN, lalu menganggap hal kecurangan sebagai hal lazim dalam proyek.
Maraknya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tantangan fundamental selain kesenjangan sosial-ekonomi, kualitas SDM rendah, kemiskinan, arsitektur ekonomi yang tak mendukung pertumbuhan berkelanjutan, dan disparitas dalam pembangunan regional (Elwin Tobing, Profesor ekonomi dan Presiden Inadata Consulting di Irvine, Amerika Serikat, dalam "Menanti Kepemimpinan Transformasional Prabowo", Kompas).
Ia mengatakan bahwa tantangan-tantangan fundamental berlangsung sejak Pelita I dicanangkan (1 April 1969), hingga sekarang.
Dengan kata lain, KKN berjangkit sejak lebih dari setengah abad lampau bagai penyakit tiada obat. Rasanya, sudah cukup lembaga-lembaga untuk melawannya. Namun, KKN masih mewabah bak penyakit berbahaya.
Pidato berapi-api Prabowo mengisyaratkan kehendak memberantas korupsi, melalui perbaikan sistem dan penegakan hukum secara tegas.
"Penyakit berbahaya" itu sudah menggurita. Saya merasakannya dalam lingkungan kecil di atas dan merefleksikannya ke layar lebih luas.Â
Dalam lingkungan terbatas ia menghasilkan bangunan sekolah yang buruk kualitasnya, jalan yang tak tahan lama, jembatan penghubung yang mudah ambruk, dan seterusnya.
Penyakit berbahaya yang sudah terlanjur mengakar itu mengikis anggaran negara dan menjadi hambatan bagi kemajuan Indonesia. Maka terpaksa pemerintah bekerja dua kali, memperbaiki fasilitas rusak dengan merogoh anggaran yang seharusnya dapat dialihkan untuk kesejahteraan orang banyak.
Oleh karenanya, perilaku penyelewengan yang merugikan keuangan negara harus ditumpas sampai tuntas.