Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sulit Dapat Kerja, Maka Ia Jualan Kopi Seduh

16 Oktober 2024   07:12 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:22 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Minggu pagi lalu, sejenak langkah terhenti. Pandangan terpaku pada seorang anak yang sedang menulis sesuatu pada sebuah buku, dengan bersila beralaskan tikar yang digelar di atas trotoar.

Sepertinya ia menyalin tempel informasi dari layar smartphone jadul.

Saya menunduk dan bertanya, "Kok nyontek google?"

"Disuruh guru."

Ternyata sedang mengerjakan pe-er tentang perubahan kimia dan fisika. Mencoba mengaduk-aduk tumpukan ingatan, saya tetap tidak menemukan definisi tepatnya.

Saya mencontohkan saja peristiwa pembakaran yang mengubah kayu menjadi api, panas, dan arang. Jari menunjuk penjual es kelapa di mobil bak, seraya mengatakan bahwa air yang merupakan zat cair bisa berubah menjadi benda padat (es batu).

Contoh di depan mata bisa ia pakai sebagai ilustrasi untuk melengkapi definisi yang dikutip dari Google.

Anak laki-laki tersebut menemani kedua orangtuanya, yang berjualan kopi seduh di tepi jalan dekat lampu merah Jalan Tentara Pelajar. Jauh dari Pak Yana, pedagang kopi pinggir jalan langganan.

Kemudian perjalanan harus berlanjut. Tidak bisa lama-lama berdiskusi dengan anak pintar itu, berhubung masih ada urusan yang harus segera diselesaikan. Bahkan saya tak sempat memfotonya untuk ilustrasi artikel ini.

Senin pagi esoknya saya berkunjung lagi ke lapak sederhana penjualan kopi seduh itu.

Tampak konstruksi kayu dengan rancangan sedemikian rupa. Bisa ditaruh di jok sepeda motor, juga bisa diletakkan secara sempurna pada permukaan datar.

Di atas lapak tergantung rencengan kopi saset dan minuman bubuk dalam kemasan, serta gelas plastik dan temos air panas. Di dekatnya terdapat kompor gas portabel dan galon kecil isi air mineral.

Pedagang itu, bernama Lukman, menggelar tikar di trotor untuk pembeli yang hendak bersantai di naungan pohon.

Pada hari Senin itu saya tidak melihat anaknya bikin pe-er. Tentu saja putranya sedang bersekolah.

Menurut Mas Lukman, putranya bernama Banyu (nama lengkapnya lupa). Duduk di kelas 1 SMP (sekarang disebut kelas tujuh) di Leuwiliang, satu daerah di Kabupaten Bogor yang berjarak 24 kilometer dari Kota Bogor.

Penjual kopi seduh itu mengaku memiliki 3 anak. Tertua di SMK tingkat terakhir dan sedang praktik keja lapangan (PKL). Banyu anak kedua. Sedangkan yang ketiga baru akan masuk TK.

Tadinya Mas Lukman berjualan kopi secara berkeliling menggunakan sepeda motor. Satu ketika ia beristirahat di Jalan Tentara Pelajar (dulu bernama Cimanggu Raya). Niatnya, berteduh dari terik matahari. Kemudian beberapa pengguna jalan berhenti untuk membeli kopi seduh.

Sejak itu ia berjualan di sana dari pagi hingga sore. Setelahnya, mangkal dekat kumpulan pengemudi ojol di stasiun Bogor.

Mas Lukman menjual rata-rata 20 gelas kopi di lapak tepi Jalan Tentara Pelajar. Di dekat stasiun, 15 gelas.

Harga jual kopi Rp4.000 per gelas. Menurut pengakuannya, modal kerja Rp2.000 per cup terdiri dari kopi saset, cup plastik, gas, air.

Keuntungan setengah harga jual, yaitu (Rp4.000 -- Rp2.000) X 35 = Rp70.000 sehari. Saya sedikit meragukan hitungan ini, karena ia belum memasukkan pembelian BBM motor, makan, dan lainnya

Kening saya berkerut, "Cukup untuk keluarga dengan 3 anak?"

Mas Lukman tak menyahut. Pandangan kosongnya memandang langit yang mulai muram.

Pria lahir di Pasuruan tersebut berkata lirih, ia baru berdagang dua pekan terakhir. Sebelumnya Mas Lukman bekerja sebagai pengemudi di perusahaan ekspedisi. Kontrak kerjanya habis.

Karena menganggur ia melamar kerja ke mana-mana, termasuk ke sebuah perusahaan otobus terkemuka melalui depo utamanya di Kota Bogor. Namun, belum ada satu jua jawaban atas surat lamarannya.

Lama menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus berjalan, maka bapak tiga anak itu mencari penghasilan dengan berjualan.

Sulit dapat kerja, Lukman akhirnya berdagang kopi seduh demi menghidupi keluarganya.

Moga-moga dagangannya makin laris. Juga, mudah-mudahan ada kabar baik perihal lamaran kerjanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun