Keberadaan pasar tumpah yang liar cenderung mengundang preman. Mereka meminta uang dengan dalih kebersihan, sewa lampu, dan keamanan. Tidak jarang mereka meminta uang dengan ancaman.
Pemkot Bogor harusnya memerhatikan perilaku penjual dan pembeli. Penjual ingin lapaknya ramai dikunjungi. Pembeli merasa mudah mencapai barang yang ingin dibeli, di tempat nyaman dan tidak sumpek.
Sementara ini, otoritas mengelola pasar tumpah; memastikan keamanan bagi pedagang; membebaskan dari pemerasan, perebutan kekuasan, dan premanisme.
Pemerintah setempat bahkan dapat memungut retribusi dari pengelolaan demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengalihkan aliran ke kas daerah daripada ke kantong pribadi.
Ke depannya, Pemkot seyogianya memikirkan tempat penampungan resmi (pasar) dengan rancangan sesuai kebutuhan penjual dan pembeli. Untuk itu perlu studi serius dalam perencanaannya, yang mungkin melibatkan civitas academica di Perguruan Tinggi setempat.
Satu ketika Kota Bogor memiliki pasar tradisional dengan konstruksi yang mudah diakses dan nyaman, baik bagi penjual maupun pembeli.
Saya percaya, orang-orang di Balaikota Bogor jauh lebih pandai mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan baik tersebut. Itu kalau mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H