Waktu itu saya makan dengan kalap. Sambal tekor, tidak mampu menandingi setengah piring nasi dan lauk. Tambah sambal, lauk habis. Tambah lauk, nasi dan sambal kurang. Tidak mudah menemukan strategi tepat untuk menghabiskan nasi, lauk, dan sambal secara bersamaan.
Memang sambal merah meriah dalam cobek besar tidak hanya menggugah selera, tetapi menggoda lidah kendati perut hampir meledak.
Saya sepakat dengan kompas.id yang mengatakan, tak lengkap melahap nasi berikut lauk tanpa disertai sambal (sumber).
Setelah menanyakannya, sambal dibuat secara sederhana. Tidak ada rahasia khusus. Saya bisa melihat saat Bu Nunung mengulek cabai rawit merah, tomat, dan terasi matang bersama garam. Sedikit penyedap ditambahkan.
Benar-benar sambal sederhana. Entah kalau ada jampi-jampi khusus selama membuat sambal. Pastinya, sambal sederhana tersebut selalu dibuat baru.
***
Warung Panghegar barangkali tidak berjaya seperti dulu, ketika berjualan di sekitar Stasiun Bogor. Saat itu, jumlah penumpang KRL yang membludak menjadi jaminan pasar sangat bagus.
Meski potensi pembeli berkurang dibanding dulu, Bu Nunung bersyukur berada di kios yang berada tidak jauh dari rumahnya dan pusat keramaian.
Pembelinya sekarang berasal dari karyawan toko swalayan sekitar, ibu-ibu yang menunggu anak bersekolah, dan mereka yang kangen dengan sambalnya seperti saya.
Sambal merah meriah dalam cobek besar menjadi daya tarik utama. Sambal sebagai ciri khas warung sederhana. Penggugah selera dan penggoda lidah untuk terus mengecap, sekalipun perut sudah tidak muat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H