Nasi dan sayur di depan mata buru-buru dihabiskan secepatnya, tanpa menunggu ikan pecak selesai dimasak.
Lauk kuliner khas Betawi terbuat dari ikan tawar goreng, yang disiram sambal encer (cabai, bawang merah, jahe, kecur, air panas/matang), baru diantar ke meja 25 menit kemudian.
Biasanya, pegawai restoran memberi tahu tamunya bahwa pesanan membutuhkan waktu, sehingga baru bisa diantar dalam sekian menit. Misalnya, menjelaskan bahwa butuh 15 menit proses mematangkan.
Ini tidak! Sepuluh menit menunggu terlalu lama untuk menahan pemberontakan di dalam perut, maka hidangan yang ada disantap tanpa ikan sebagai teman nasi.
Selain memang sudah tiba waktu makan siang -- pukul 12 lewat -- saya ingin segera beranjak dari tempat makan tersebut. Lagu-lagu pop diputar pengelola terlalu kecang, sehingga mengganggu kenyamanan berada di rumah makan.
Waktu pertama masuk, saya menyampaikan permohonan agar volume dipelankan. Namun, ia mengatakan bahwa tamu-tamunya menyukai. Bahkan, katanya, sebagian ikut menyanyi.
O, ternyata rumah makan tersebut menyediakan mesin pemutar lagu untuk karoaku, eh, karaoke.
Ya sudahlah. Mereka tidak mendengarkan komplen recehan. Mau tidak mau saya membawa piring berisi nasi, tumis daun katuk & kecambah, daun poh-pohan mentah, dan sambal ke meja dan menunggu lama.
Kemudian saya segera menghabiskan makanan dan minta ikan pecak agar dibungkus. Meninggalkan restoran yang sepi pengunjung, sekalipun pada waktu makan siang di akhir pekan.
Sekali lagi saya memastikan isi tulisan di spanduk besar pada luar rumah besar yang halamannya dibangun tempat usaha kuliner. Ternyata benar. Mereka menyediakan aneka masakan Sunda. Rumah makan, bukan tempat untuk menyanyi atau berkaraoke.