Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aktor Terkemuka di Bawah Flamboyan

29 September 2024   06:13 Diperbarui: 29 September 2024   06:13 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktor Terkemuka, Gambar oleh Moondance dari Pixabay

Pada suatu hari .... 

Ah, janganlah pakai frasa semacam ini! Bukan untukku yang sudah memasuki usia remaja, tak lagi SD, membuka karangan dengan "pada suatu hari".

Aku ulangi, ya.

Ketika langit membuka paha lebar-lebar, matahari menerobos sebuah lubang tak berawan dan menggagahi permukaan bumi dengan sinar membakar. Maka, pecahan bata ringan di bawah Flamboyan cukuplah menjadi muara menghapus keringat dan penat.

Pandangan menyapu keadaan. Pemuda pemudi sepantaran dan berbaju putih abu-abu bercengkerama gembira. Sebagian memantul-mantulkan bola karet pada lantai semen, sesekali melempar ke lingkaran besi dikelilingi tali putih berpilin-pilin.

Sungguh, mereka mampu mempertahankan kegembiraan di bawah terik.

Aku mencabut selembar kertas yang kehilangan cahayanya, untuk menemani sepi di antara keramaian. Kata-kata muram berlompatan. Membetot perhatian agar aku membaca lebih bersungguh-sungguh.

Butet Kartaredjasa, aku pernah mendengarnya, menuliskan sesuatu yang sangat menarik. Kemudian, kepala berdenyut-denyut berusaha keras memahami kata-kata tersurat.

Menurut alam pikirku, begini kira-kira makna tersiratnya.)*

Katanya, aktor itu bertingkah laku sedemikian rupa demi mengecoh orang. Menipu penontonnya. Kadang, saking hebatnya menyihir sehingga penonton kecanduan. Ingin dan selalu ingin melihat lagi pementasan-pementasan berikutnya.

Apalagi jika selain berlaku sebagai aktor, ia juga mahir menulis naskah dan menjadi sutradara sekaligus produsernya. Genius.

Kemampuan lengkap ditambah ketangkasan menuturkan lakon, akan membuat penonton tersihir dan terbang ke dunia angan penuh impian. Yang penting, mereka memahami, senang, dan harapan-harapan (akan) terpenuhi.

Imajinasi yang kemudian membawa aku ke kampus ternama, mempelajari dunia peran. Cum laude membawa ke pendidikan lebih tinggi di negara asing.

Kembali ke tanah air, aku membangun panggung. Pergaulan luas dengan kalangan penting, membuatku terkenal.

Aku tiba pada tahun pengerahan massa untuk menonton pertunjukan demi pertunjukan.

Aku punya kemampuan lengkap. Memborong peran merancang skenario, menjadi bandar yang membiayai panggung, menyutradarai, sekaligus menjadi aktor

Namun, tak sedikit mereka yang ikut berkompetisi memaksakan diri dan berusaha menjadi genius. Padahal, takada kemampuan.

Baiklah. Itu tidak masuk dalam hitunganku, yang mahir melakoni peran sebagai pahlawan. Sebagai aktor protagonis yang didewa-dewakan oleh para penonton.

Aku menempatkan lawan-lawan selaku tokoh antagonis. Mencari keburukan-keburukan pribadi dan keluarganya. Penonton terpengaruh lalu membenci mereka.

Makin lama aku makin mahir menggelar lakon memikat, menciptakan lambang-lambang dan janji-janji yang sekiranya mewakili perasaan, harapan, impian rakyat banyak yang menjadi penonton.

Maka dalam peran sebagai aktor lengkap, aku melontarkan jargon-jargon yang berkonotasi "aku adalah rakyat", "kita berjuang bersama ", dan semacamnya.

Aku menggaungkan tema-tema pop, seperti: mengentaskan kemiskinan, membentuk birokrasi bebas korupsi, membangun keadilan, menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, membela petani, melindungi masyarakat adat, kemakmuran bagi semua, pemerataan hak warga, dan kata-kata klise yang lazim didengar dalam orasi-orasi politik.

Sihir yang kemudian membuat para penonton -- sangat banyak pemirsa -- akhirnya menempatkan aku pada kedudukan tertinggi, pada istana bukan buatan pemerintah kolonial, di atas tahta dingin yang di depannya melimpah hidangan hangat.

Udara ruangan yang sejuk dan makanan minuman terpampang di depan mata, membuat janji-janji pernah digemakan pada berbagai media kini terbang bersama impian para penonton.

Udara sejuk dan pajangan makanan minuman lezat juga merangsang pergerakan sensor primitif di dalam tubuh.

Air liur mengalir melalui mulut mangap. Deras, sangat deras, demikian deras sehingga geragap menyergap. Aku mengucek mata dan menyaksikan matahari telah menuju barat.

Riuh sudah sepi. Pemuda pemudi berseragam putih abu-abu mungkin masuk kelas, atau sudah pulang. Entahlah.

Badan meregang. Perut berteriak. Menyuruh agar segera beranjak, tak bisa berlama-lama di bawah Flamboyan.

Aku memungut koran terserak. Memasukkannya kembali ke karung yang sempat menjadi pembungkus pakan kucing. Berjalan demi mengumpulkan wadah plastik bekas isi air mineral, kardus, dan apa pun barang bekas yang boleh ditukar dengan rupiah.  

***

)*Disarikan dari "Ilmu Menipu Seorang Aktor", Butet Kartaredjasa, Kompas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun