Aku menggaungkan tema-tema pop, seperti: mengentaskan kemiskinan, membentuk birokrasi bebas korupsi, membangun keadilan, menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, membela petani, melindungi masyarakat adat, kemakmuran bagi semua, pemerataan hak warga, dan kata-kata klise yang lazim didengar dalam orasi-orasi politik.
Sihir yang kemudian membuat para penonton -- sangat banyak pemirsa -- akhirnya menempatkan aku pada kedudukan tertinggi, pada istana bukan buatan pemerintah kolonial, di atas tahta dingin yang di depannya melimpah hidangan hangat.
Udara ruangan yang sejuk dan makanan minuman terpampang di depan mata, membuat janji-janji pernah digemakan pada berbagai media kini terbang bersama impian para penonton.
Udara sejuk dan pajangan makanan minuman lezat juga merangsang pergerakan sensor primitif di dalam tubuh.
Air liur mengalir melalui mulut mangap. Deras, sangat deras, demikian deras sehingga geragap menyergap. Aku mengucek mata dan menyaksikan matahari telah menuju barat.
Riuh sudah sepi. Pemuda pemudi berseragam putih abu-abu mungkin masuk kelas, atau sudah pulang. Entahlah.
Badan meregang. Perut berteriak. Menyuruh agar segera beranjak, tak bisa berlama-lama di bawah Flamboyan.
Aku memungut koran terserak. Memasukkannya kembali ke karung yang sempat menjadi pembungkus pakan kucing. Berjalan demi mengumpulkan wadah plastik bekas isi air mineral, kardus, dan apa pun barang bekas yang boleh ditukar dengan rupiah. Â
***
)*Disarikan dari "Ilmu Menipu Seorang Aktor", Butet Kartaredjasa, Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H