Saya memesan dua potong tahu baru digoreng dan cabai rawit dan bertanya kepada penjual kopi, bagaimana ia menggagas sesuatu yang menurut saya puitis.
Apakah ia murid Ayah Tuah? Mendapatkan ilmu dari Itha Abimanyu? Tentu saja tidak. Saya percaya, penjual kopi dikirim oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan: jangan lama-lama bersedih!
Usai membayar kelapa muda utuh Rp6.000 dan tahu Rp2.000, saya berjalan pulang dengan badan tegak.
Pikiran lebih rileks menikmati ritme langkah kaki. Suara-suara motor, burung berterbangan maupun di kandang, serta desir angin mengalir damai melalui telinga ke dalam ruang di kepala. Senyum mengembang. Pasrah.
Kata Doris Day, "Que sera, sera." Whatever will be, will be-lah!
Sore hari saya iseng-iseng menyetrum (charging) baterai. Menekan tombol daya dan ...di layar muncul tulisan. Setelahnya, telepon pintar itu meminta nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN).Â
Horeeee.....!!! Telepon genggam siuman dari tidur panjangnya!
Setelah menunggu agar ia berpikir tenang, saya mulai mencopoti (unistall) beberapa aplikasi, semisal Instagram, X, Facebook, dan lainnya yang  sekiranya tidak penting-penting amat. Tujuannya, agar mereka tidak membebani pikirannya yang masih 3 RAM. Kasihan.
Kepala saya pun tidak nge-hang lagi.
Saya belajar satu hal, dalam keadaan banyak yang dipikirkan sehingga membuat galau dan sedih, jangan lama-lama memendam kesedihan. Rugi. Pun tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik pasrah dan berserah diri kepada Sang Maha Pembuat Rencana.