Tulisan putih pada dinding cokelat sebuah warung kopi menghantam kesadaran, harusnya saat itu saya segera menyudahi kesedihan dan berhenti meratapi musibah menimpa.
Hari Minggu baru lalu, usai kumandang azan Magrib, telepon genggam yang disetel pada mode senyap berpendar. Saya pikir, ada panggilan telepon. Ternyata bukan.
Layar menyala dan tertera tulisan merek gawai tersebut. Menyala dan terus menyala tidak bisa diapa-apakan. Tidak padam atau bergerak, sekalipun layar diusap dan tombol "daya" juga "volume" ditekan.
Saya membuka laptop untuk mencari tahu cara mengatasinya di Google. Semua petunjuk saya ikuti, tetapi tidak berhasil mengatasi masalah.
Kalau henpon jadul nge-hang, ya tinggal cabut baterai. Pasang Kembali lalu nyalakan. Mana bisa diterapkan pada telepon genggam zaman kini?
Perlahan perangkat mulai hangat dan makin panas. Panik melanda. Untuk atisipasi seandainya terjadi ledakan, telepon genggam saya letakkan di sudut kamar.
Mungkin telepon pintar tersebut sedang demam sehingga pusing kepala, maka saya sengaja taruh di lantai dingin. Biarlah ia menenangkan diri di situ. Nanti jika daya baterai sudah habis, ia akan mati dengan sedirinya.
Malam merangkak naik, kelopak mata terasa berat. Biasanya, pukul 20:00 saya sudah menarik selimut.
Esok paginya, saya mendatangi ahlinya dan menceritakan urutan kejadian. Menurutnya, perangkat umur empat tahun lebih memang banyak masalah, seperti membeku (nge-frezee/hang) dan mati total.
Perbaikan meliputi penggantian mesin dan pembaharuan perangkat lunak, yang akan menghabiskan biaya sekitar Rp500 ribu. Namun, ia tidak menjamin perbaikan dapat bertahan lama. Itu memerlukan perbaikan lagi dengan biaya sama.
Katanya, dua kali perbaikan ditambah sedikit uang sudah bisa membeli satu perangkat baru, Rp1.200.000 (RAM 4GB) hingga Rp1.900.000 (RAM 8GB). Harga bervariasi, tergantung besar komponen memori untuk pemrosesan data (Random Access Memory/RAM) dan ruang penyimpanan.
Gantian kepala saya nge-frezee atau nge-hang, mengingat belakangan muncul pengeluaran dalam waktu beruntun. Sekarang, mesti ganti telepon pintar baru pula.
Baiklah. Setelah berbincang dengan pemilik konter penjualan dan service HP, saya berpamitan.
Di depan gedung perbelanjaan saya menimbang-nimbang: naik angkot, BisKita, atau ojol? Eh iya, telepon pintar "matot" sehingga tidak bisa pesan ojek daring.
Saya memutuskan untuk berjalan kaki, sambil mempraktikkan gaya silent walking yang diulas di kompas.com "Jadi Tren di TikTok, Apa Itu Silent Walking?", Kompasiana "Mindfulness Di Setiap Langkah: Panduan Lengkap Silent Walking", dan lainnya.
Trotoar lebar dan teduh di tepi Jalan Juanda, Kota Bogor, tak juga meredakan perdebatan di dalam kepala. Ditambah, penyesalan yang menambah ruwet. Mumet.
Sampai di ujung Pasar Anyar, saya berhenti di lapak penjualan kelapa muda untuk beristirahat dan mendinginkan tubuh berkeringat. Air kelapa membasahi kerongkongan. Segar, meski tanpa es. Manis, kendati tak ditambah sirop.
Sembari menyendok daging kelapa muda saya menatap satu lapak kopi di sebelah, yang hanya dibatasi oleh angin.
Pada satu bidang dinding ruangan tempat tidur penjual terdapat tulisan yang menghantam kesadaran saya. Tidak mungkin memotretnya, berhubung telepon genggam sudah tewas, tetapi menuliskannya pada secarik kertas kecil.
Tulisan putih pada dinding cokelat sebuah warung kopi itu berbunyi: Seduh Kopimu, Sudahi Sedihmu.
Coretan rapi yang mengingatkan, harusnya saat itu saya segera menyudahi kesedihan. Berhenti meratapi musibah atas "tewasnya" telepon genggam yang bikin puyeng. Memikirkan biaya untuk menebus penggantinya.
Saya memesan dua potong tahu baru digoreng dan cabai rawit dan bertanya kepada penjual kopi, bagaimana ia menggagas sesuatu yang menurut saya puitis.
Apakah ia murid Ayah Tuah? Mendapatkan ilmu dari Itha Abimanyu? Tentu saja tidak. Saya percaya, penjual kopi dikirim oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan: jangan lama-lama bersedih!
Usai membayar kelapa muda utuh Rp6.000 dan tahu Rp2.000, saya berjalan pulang dengan badan tegak.
Pikiran lebih rileks menikmati ritme langkah kaki. Suara-suara motor, burung berterbangan maupun di kandang, serta desir angin mengalir damai melalui telinga ke dalam ruang di kepala. Senyum mengembang. Pasrah.
Kata Doris Day, "Que sera, sera." Whatever will be, will be-lah!
Sore hari saya iseng-iseng menyetrum (charging) baterai. Menekan tombol daya dan ...di layar muncul tulisan. Setelahnya, telepon pintar itu meminta nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN).Â
Horeeee.....!!! Telepon genggam siuman dari tidur panjangnya!
Setelah menunggu agar ia berpikir tenang, saya mulai mencopoti (unistall) beberapa aplikasi, semisal Instagram, X, Facebook, dan lainnya yang  sekiranya tidak penting-penting amat. Tujuannya, agar mereka tidak membebani pikirannya yang masih 3 RAM. Kasihan.
Kepala saya pun tidak nge-hang lagi.
Saya belajar satu hal, dalam keadaan banyak yang dipikirkan sehingga membuat galau dan sedih, jangan lama-lama memendam kesedihan. Rugi. Pun tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik pasrah dan berserah diri kepada Sang Maha Pembuat Rencana.
Ada hikmahnya saya berhenti di penjual kelapa dan melihat tulisan di lapak kopi: Seduh Kopimu, Sudahi Sedihmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H