Perbincangan ringan berlanjut hingga peraduan. Tak lama, lampu ruangan padam berganti dengan cahaya temaram. Bibir dua insan mengembang di bawah selimut, bersama peluh dan lenguh. Lalu, lelap.
Cahaya pagi menembus kaca jendela. Kicau burung menyelusup melalui lubang angin. Salim dan Hesty menyantap nasi goreng oriental dengan telur ceplok, irisan mentimun dan tomat, serta kerupuk udang.
"Bawa bekal?"
"Tidak, Sayang. Nanti siang aku makan di luar bersama klien."
Belakangan suaminya berangkat tidak membawa bekal. Alasan suaminya, selain bersantap bersama klien, ada pertemuan kantor yang tentu saja menyediakan hidangan makan siang. Sayang betul jika bekal tidak termakan, satu ketika suaminya berkata demikian.
Sebelum menutup pintu, Hesty menatap sedan kecil yang dipesan melalui telepon genggam maju perlahan. Bergerak kian cepat, menjauh, dan menghilang dari pandangan. Pria berbadan bak peragawan itu berangkat kantor tidak menyetir sendiri.
Jangan-jangan ..., ah tidak, ditepisnya pikiran buruk itu dari pikirannya.
Wanita berkaki jenjang dengan rambut sebahu melangkah ke meja. Menarik Kursi. Duduk lalu menarik bidang layar komputer kecil. Papan kunci terhampar. Jari lentiknya menekan satu tombol.
Jari-jarinya lancar mengetuk kata-demi kata membentuk rangkaian kalimat, yang mengonstruksi pembukaan sebuah cerpen. Hesty adalah seorang penulis. Bukan penggubah cerita panjang kait mengait membentuk buku. Bukan pula pujangga terkenal di seantero negeri. Bukan.
Wanita dengan pendidikan tinggi itu menyalurkan kesukaannya dalam menumpahkan gagasan mewujud karya fiksi, atau esai membabarkan pengalaman dan pengamatan. Memublikasikan karya-karyanya melalui sebuah platform blog keroyokan. Dari sana pulalah ia bersua dengan jaringan sesama penulis.
Pertemanannya menjangkau beragam wilayah, maka hari-harinya tidak pernah sepi. Pikiran yang riuh dengan gagasan-gagasan, membuatnya tidak sempat berpikir tidak-tidak, yang dapat menjerembapkan ke jurang kesepian. Atau, prasangka buruk yang sempat mampir di pikiran belakangan ini.