Sebenarnya tidak persis disebut warung kopi, karena ia juga menjual nasi dan pilihan lauk sederhana.
Tidak semua pengunjung membeli makanan. Umumnya mereka memesan kopi seduh, lalu berlama-lama nongkrong di tempat adem itu. Agak siang, barulah sebagian makan nasi rames atau nasi goreng.
Biasanya, saya beberapa kali datang setelah olahraga jalan. Ngopi dan duduk-duduk pagi. Pulang sebelum matahari berdiri di ubun-ubun.
Seperti pada Jumat pagi baru lalu. Sebelum tiba di rumah usai mengurus sesuatu, saya mampir ke warung kopi dan nasi tersebut. Ngadem.
Sejuk karena dilingkupi pepohonan. Asri sebab warung berada di kebun dengan beragam tanaman. Ayem ketika memandang ayam hilir mudik.
Sepuluh atau sebelas sepeda motor terparkir. Sudah banyak pengunjung datang. Mereka minum kopi. Mata menatap layar. Orang-orang yang dalam banyak waktu mungkin tidak bisa hidup tanpa smartphone.
Pekerjaannya menuntut demikian. Mereka adalah penjual produk koperasi, salesman barang, pengemudi ojol, dan sebagainya, yang perlu memantau perkembangan apa pun via telepon pintar.
Saya dan satu pengunjung merupakan orang purnatugas. Sudah tidak terikat dengan aturan kerja. Sehingga punya waktu luang melimpah, punya sedikit uang. Para lansia yang mampir setelah berolahraga, mengantar cucu, atau usai urusan.
Kami berbincang tentang hal-hal receh. Satu orang lagi, yang mampir setelah mengantar istri, ikut terlibat dalam obrolan.
Kesehatan
Kami saling mengingatkan perihal pentingnya menjaga kesehatan, dengan tidak berlebihan mengonsumsi sesuatu, rutin berolahraga, mengurangi beban pikiran, cukup istirahat, dan menyempatkan diri bersosialisasi.
Pemanfaatan Waktu
Dalam diri muncul sedikit dugaan buruk. Barangkali sebagian sales itu ngopi dan nongkrong di warung sambil main gim. Menyia-nyiakan waktu.Â
Mudah-mudahan tidak begitu. Bisa jadi mereka istirahat sebentar untuk meredakan penat.
Namun, jangan terlalu lama. Bagusnya, waktu kerja digunakan secara optimal untuk berproduksi mencapai target.
Empati
Satu waktu sang pemilik pergi ke toko meninggalkan warung, untuk beli telur sekalian memecah selembar uang hasil penjualan.
Tidak ada penjual, seorang pembeli yang baru datang menyeduh sendiri kopi saset. "Sudah biasa," katanya sambil tersenyum.
Seorang ibu berpakaian sederhana celingak-celinguk kebingungan di depan etalase. Pemilik warung biasa memberinya makanan atau gorengan secara cuma-cuma.
Melihat gerak-geriknya, seorang pengunjung berdiri dari tempat duduknya, menghampiri, dan menawarkan kepada ibu itu untuk membungkus beberapa gorengan dan membawa sebotol air mineral.
"Ambil saja, nanti saya yang bayar."
Rezeki
Pria yang ikut nimbrung dalam perbincangan mengaku tidak punya pekerjaan tetap. Makanya, usai mengantar istrinya ke tempat kerja ia berlama-lama nongkrong, ngopi, dan ngerokok. Agaknya, pria itu baru pertama kali berkunjung ke sini.
Lansia sebelah saya memberi nasihat. Katanya, rezeki sudah tersedia di sekitar kita. Tinggal berupaya terus mencarinya. Tak baik terlalu lama menghabiskan waktu dengan sia-sia.Â
Berikhtiar, mumpung masih muda dan sehat. Kurangi pemborosan seperti, misalnya, merokok. Jangan lupa, berdoa memohon kepada-NYA.
***
Masih ada perbincangan encer-encer lainnya, tapi cukuplah ditulis sampai sini saja.
Sudah hampir pukul sebelas. Siap-siap menjalankan ibadah Jumat. Saya pamit undur setelah membayar secangkir kopi dan sepotong tempe goreng. Rp5.000 saja.
Demikian cerita receh pada suatu pagi di warung kopi. Saya mencatat cerita ringan di atas menjadi artikel yang juga receh ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H