Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bambu Runcing Kuning Gading

21 Agustus 2024   08:09 Diperbarui: 21 Agustus 2024   08:13 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reka Ulang Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh Anggota Komunitas Jogjakarta 1945 beserta komunitas pegiat sejarah.(KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

"Bambu runcing lawan pasukan bersenjata api, bagaimana mungkin?" Fairel mengernyitkan dahi

"Dengarkan kelanjutan cerita ini"

***

Hari itu. Tanggal 17 Agustus 1945. Tepat pukul sepuluh pagi waktu Indonesia bagian barat. Ir. Soekarno mengikrarkan kemerdekaan Indonesia kepada seluruh wilayah di Indonesia dan dunia. Pembacaan teks proklamasi terlaksana di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Timur.

Namun, maklumat tersebut tidak serta menghentikan nafsu penjajah untuk menguasai tanah Indonesia. Tidak!

Mereka enggan dan tidak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Malahan, hendak menguasai kembali wilayah Ibu Pertiwi.

Sekutu ingin mengambil alih daerah yang ditinggalkan Jepang usai kalah perang. Dengan membonceng sekutu, pasukan Belanda bertekad mengibarkan kembali bendera Merah-Putih-Biru di tanah Indonesia.

Mengetahui kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration), bangsa Indonesia tidak menerima begitu saja. Berbagai perlawanan dilakukan oleh para pejuang demi mempertahankan proklamasi kemerdekaan.

Tidak hanya itu. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan juga dilakukan untuk melawan sisa-sisa pasukan Jepang yang masih bersenjata.

Di berbagai daerah terjadi perjuangan melawan penjajah. Misalnya, pertempuran di Semarang, Surabaya, Ambarawa (Palagan Ambarawa), Bandung (Bandung Lautan Api), Tabanan Bali (Puputan Margarana), Medan Area, Yogyakarta (serangan umum 1 Maret 1949).

Reka Ulang Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh Anggota Komunitas Jogjakarta 1945 beserta komunitas pegiat sejarah.(KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Reka Ulang Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh Anggota Komunitas Jogjakarta 1945 beserta komunitas pegiat sejarah.(KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Pertempuran umumnya dilakukan dengan perlengkapan perang yang terbatas. Sering kali, persenjataan maupun kekuatan pasukan pejuang dan milisi rakyat tidak berimbang dibanding kekuatan militer penjajah.

Namun, semangat patriotik mempertahankan kemerdekaan menjadi bahan bakar dahsyat. Ditambah strategi pengepungan, hit and run, dan perang gerilya membuat perlawanan menjadi sangat berarti. Pertempuran yang menakutkan bagi para agresor asing bersenjata lengkap.

Kunci keberhasilan pasukan pejuang mempertahankan kemerdekaan adalah, serangan sporadis yang dilancarkan secara cepat dan mendadak ke pos-pos militer asing. Juga serangan tiba-tiba kepada iringan pasukan Belanda.

Strategi tersebut dilakukan demi menyiasati keterbatasan persenjataan api dan jumlah pasukan.

Persediaan senjata api merupakan hasil melucuti tentara Jepang yang kalah perang dan pasukan NICA yang berhasil ditaklukkan.

Kekurangan dari persenjataan, para pejuang dan milisi rakyat menggunakan beragam senjata tradisional maupun buatan sendiri.

Ada yang memanfaatkan keris, rencong, kelewang, kujang, sumpit dengan anak panah yang dioles racun, golok, dan sebagainya. Ragam senjata khas yang tersedia menurut daerahnya.

Sedangkan senjata buatan adalah bambu runcing, yaitu bambu yang ujungnya dibuat runcing. Biasanya menggunakan buluh bambu kuning dan jenis bambu lain yang batangnya nyaman digenggam.

"Bambu runcing memang bisa untuk senjata perang?" Rasa penasaran sang bocah menyeruak.

"Kenapa tidak? Semangat mempertahankan kemerdekaan mendorong mereka untuk melawan para penjajah. Buktinya, pada akhirnya pasukan penjajah pergi dari negara kita."

Fairel tersenyum. Membayangkan, para pejuang dengan senjata seadanya bertempur mengusir penjajah. Senyuman yang terbawa hingga lelap memimpikan pertempuran hebat penuh semangat.

Dengan cinta kasih, lalu sang Kakek menyelimuti cucu kesayangan seraya mendoakan yang terbaik dan mengecup keningnya.

Esok malamnya, menjelang waktu tidur, sang kakek menceritakan kisah-kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Setiap malam mengisahkan pertempuran yang sarat semangat patriotik. Cerita sama. Berulang-ulang. Namun, Fairel kecil tak pernah merasa bosan.

Cerita peperangan tertanam kuat di kepalanya hingga remaja, meskipun sang pencerita sudah lama tidak lagi menyampirkan selimut ke tubuh Fairel.

Di dalam kepalanya, terngiang pekik "merdeka" dari para pejuang. Seruan disertai gerakan seketika dan tiba-tiba menyerbu iringan pasukan atau markas lawan, yang lantas terkejut tiada terkira.

Dalam bayangan Fairel, tentara NICA bergelimpangan kena tembakan, dada terbelah oleh kelewang, dahi tertancap anak panah, dan tentu saja perut ambrol ditusuk bambu runcing.

Mengingatnya, Fairel tersenyum sambil mengkhayalkan berada di dalam perjuangan. Menusukkan bambu runcing ke sana-sini demi mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Fairel mengusap bambu kuning yang telah diampelas halus. Lalu digosok dengan kulit tanaman turi sampai permukaannya berwarna gading mengilap.

Sedangkan ujung berdiameter paling kecil dikerat sedemikian lancip. Begitu runcing, yang apabila didorong dengan kekuatan cukup akan menembus batang pisang secara mudah.

Bibir Fairel menyentuh lembut bambu runcing kuning gading. Ia menengok satu persatu pasukannya yang merunduk di tempat tidak terlihat. Alisnya terangkat. Matanya menunjuk ke arah sebuah sekumpulan orang di sekitar warung.

Teman-temannya mengerti.

Lambaian tangan yang kemudian rebah ke depan serempak menggerakkan kawanan berseragam. Mereka berlarian sambil menyeru. Menyerbu sekumpulan orang di sekitar warung dengan mengangkat celurit, kelewang, golongan, gir sepeda yang dilas pada rantai, dan pelat besi panjang yang ujungnya dipanaskan serta dipipihkan.

Tentu saja yang paling depan adalah Fairel. Dengan semangat membara ia mengacungkan bambu runcing kuning gading.

Belasan remaja di sekitar warung terkejut tiada terkira menyadari munculnya serbuan seketika dan tiba-tiba.

Sejenak mereka terpana, tetapi dengan sigap meraih peralatan di bawah meja, di balik jok motor, dan dalam semak-semak berupa samurai, tombak, busur panah, celurit, dan... bambu runcing!

Dua kelompok remaja bertemu dalam amarah membabi buta. Teriakan. Kepulan debu. Logam beradu dengan logam. Benturan demi benturan. Tusukan diikuti tusukan. Cucuran darah. Tubuh bergelimpangan.

Para remaja sama-sama berseragam celana abu-abu baju putih centang-perenang saling bertempur. Perbedaannya, hanya tulisan yang menyatakan lokasi pada badge di bagian lengan masing-masing.

***

Biodata: 
Bukan Sastrawan. Bukan Cerpenis.
Hanya tukang tulis
di bawah pohon manggis
tepi sebuah jalan di Kota Bogor.

Foto diri (dokumen pribadi)
Foto diri (dokumen pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun