Fairel tersenyum. Membayangkan, para pejuang dengan senjata seadanya bertempur mengusir penjajah. Senyuman yang terbawa hingga lelap memimpikan pertempuran hebat penuh semangat.
Dengan cinta kasih, lalu sang Kakek menyelimuti cucu kesayangan seraya mendoakan yang terbaik dan mengecup keningnya.
Esok malamnya, menjelang waktu tidur, sang kakek menceritakan kisah-kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Setiap malam mengisahkan pertempuran yang sarat semangat patriotik. Cerita sama. Berulang-ulang. Namun, Fairel kecil tak pernah merasa bosan.
Cerita peperangan tertanam kuat di kepalanya hingga remaja, meskipun sang pencerita sudah lama tidak lagi menyampirkan selimut ke tubuh Fairel.
Di dalam kepalanya, terngiang pekik "merdeka" dari para pejuang. Seruan disertai gerakan seketika dan tiba-tiba menyerbu iringan pasukan atau markas lawan, yang lantas terkejut tiada terkira.
Dalam bayangan Fairel, tentara NICA bergelimpangan kena tembakan, dada terbelah oleh kelewang, dahi tertancap anak panah, dan tentu saja perut ambrol ditusuk bambu runcing.
Mengingatnya, Fairel tersenyum sambil mengkhayalkan berada di dalam perjuangan. Menusukkan bambu runcing ke sana-sini demi mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Fairel mengusap bambu kuning yang telah diampelas halus. Lalu digosok dengan kulit tanaman turi sampai permukaannya berwarna gading mengilap.
Sedangkan ujung berdiameter paling kecil dikerat sedemikian lancip. Begitu runcing, yang apabila didorong dengan kekuatan cukup akan menembus batang pisang secara mudah.
Bibir Fairel menyentuh lembut bambu runcing kuning gading. Ia menengok satu persatu pasukannya yang merunduk di tempat tidak terlihat. Alisnya terangkat. Matanya menunjuk ke arah sebuah sekumpulan orang di sekitar warung.