Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Asap Menghapus Angan

18 Agustus 2024   07:09 Diperbarui: 18 Agustus 2024   20:27 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Degup dada. Sengal napas tidak lantas menghentikan langkahnya, yang gegas mendaki bukit curam setelah hujan lebat reda. Tiba di ladang hutan, wajahnya mengeras.

Loha meletupkan seruan kecewa. Suaranya bergetar, "Aduh, longsor lagi. Sekarang mereka terjadi di sepanjang waktu."

Tampak tanah berwarna oranye dan berbatu menggelontor. Menerjang tanaman kakao, pala, dan nanas.

Tanah merah-cokelat menerabas pulau hijau, yang dulunya tumbuh subur pepohonan. Namun, barisan kendaraan besar berwarna kuning membabi buta telah merubuhkan hutan.

Pada jejak-jejak mereka lahir bergunung-gunung bongkahan hitam, gudang-gudang berdebu, dan aliran lumpur cokelat.

Loha dan banyak warga teluk mengerti, di desa mereka sedang dibangun pabrik sangat besar dan akan meluas.

Menurut kabar, batuan ditambang lalu diolah menjadi bahan penggerak kendaraan roda dua dan empat. Baru tahulah mereka sekarang, desanya memiliki kekayaan berupa bahan selain bensin sebagai pembakar mesin.

Para pembesar --sebagian dikenal sebagai kepala daerah mereka, dan sebagian yang berbaju bagus bermobil bagus entah siapa-- menjanjikan kehidupan jauh lebih baik bagi warga setempat.

Kata mereka, warga boleh bekerja di pabrik. Mendapatkan upah lebih baik daripada bertani, berburu, atau menangkap ikan. Dengan itu mereka dapat menjadikan hidup lebih berkualitas.

Dalam pidato pembukaan, Kepala Daerah berseru, "Merdeka dari kemiskinan!"

Seorang pria berpakaian necis yang gagal menutup perut tambunnya berapi-api menutup orasi, "Kemakmuran untuk negara. Kemakmuran untuk rakyat."

Warga bersorak-sorai. Harapan membubung ke langit. Mereka menggantung angan pada awan.

Selanjutnya, berbondong-bondong orang dari kota besar nan jauh membeli tanah-tanah di sekitar. Beberapa warga menjual tanahnya kepada pabrik. 

Dalam sekejap di tangan mereka berhamburan uang, yang lalu menjadi motor, mobil, kesenangan minum, dan permainan judi.

Loha bertahan. Menolak menjual tanah garapan selama puluhan tahun kepada orang-orang yang mengaku sebagai utusan pabrik.

Pembangunan pabrik pengolahan kemudian memakan hutan dan ladang, dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan oleh penduduk setempat.

Sebagai penggerak utama dan penerangan, dibuatlah bangunan penghasil listrik. Tak lama di sekitarnya, tumbuh gunungan hitam. Gumpalan-gumpalan legam yang dibawa oleh banyak tongkang dari laut besar.

Setelah semuanya jadi. Warga desa tercengang melihat kompleks pabrik terang benderang, sementara desa menghadapi gelap gulita akibat pemadaman listrik secara bergiliran.

Dari ladangnya Loha terpukau menonton dan mendengar hiruk pikuk kegiatan pabrik. Pun menyaksikan lumpur oranye mengaliri sungai menuju laut. Kikisan tanah mengikuti gerakan air dari hujan lebat, akibat tiada pepohonan yang mampu menahannya.  

Nestapa melanda Loha. Kesulitan sebagai petani dirasakannya berbeda dengan keadaan dulu. Tanaman lebih lambat tumbuh. Debu oranye lebih sering menutupi tanamannya. Pengairan sulit didapat.

Temannya, Max, pemburu dan petani tradisional menggemakan keluhan Loha. Cahaya dan bising pabrik menakuti rusa buruannya di malam hari. Oleh karenanya, hampir semua pendapatan dari berburu hilang sejak pembangunan pabrik.

Teman lain lagi, Abdullah, mengatakan bahwa laut menjadi keruh karena limbah dari pabrik. Ikan-ikan menyingkir ke tempat jauh atau mengambang terbalik setelah mengisap permukaan laut berminyak. Tiada tempat lagi untuk menjala dan memancing ikan di teluk.

Ternyata kemakmuran seperti dijanjikan dulu tidak datang kepada Loha, Max, dan Abdullah.

"Sekarang tanah-tanah longsor, air kotor, ikan dan hewan buruan menghilang. Mana kehidupan lebih baik yang pernah dijanjikan?"

Asap hitam menghapus angan. Harapan yang terlanjur digantung tinggi di awan kini terhapus asap cerobong pabrik.

Loha, Max, Abdullah sejenak berpandangan. Mereka sangat terpukul. Merasakan harapan hidup telah lenyap. Pandangan gelap. Tanpa diawali komando, mereka mencabut parang dan memasang anak panah pada busurnya.

Kecewa menumpuk. Meledak menjadi energi luar biasa. Melesat menuruni bukit. Berlari gagah berani dan cepat menuju gerbang pabrik sambil mengacungkan senjata. Debu beterbangan.

"Merdekaaa ...!

Kepulan debu oranye menarik perhatian seorang penjaga. Matanya memicing, berusaha melihat lebih jelas apa gerangan yang bergerak terburu-buru.

Kemudian ia melaporkan peristiwa kepada kepala pasukan. Komandan berseru, "Pasukan, siagaaaa ...! Para pemberontak menyerbu."

Pasukan bersenjata laras panjang bersiaga penuh menempati posisi. Menunggu perintah tembak.

"Dalam hitungan ketiga ...!!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun