Saya tidak pernah ingin meninggalkan smartphone hanya karena cemas dengan membludaknya informasi baru. Tidak. Pernah sih beberapa hari tidak menyentuhnya, karena telepon pintar rusak.
Waktu saya masih aktif, kadang-kadang smartphone membuat panik atau menimbulkan keinginan untuk terburu-buru.
Misalnya, ada satu pekerjaan belum selesai yang sudah mepet dengan batas akhir. Pun, panggilan WA atau chat dari pemeriksa, oknum ormas dan wartawan, Babinsa, dan lain-lain yang berarti harus menyediakan sejumlah uang tutup mulut.
Meskipun sempat menimbulkan stres, hal-hal demikian tidak menyurutkan hati untuk meninggalkan fungsi smartphone. Tidak perlu tertekan karena teknologi.
Memang dalam masa itu saya sengaja membeli telepon genggam fitur dasar tanpa kamera. Satu untuk saya, satu lagi untuk pegawai Pemda.
Beda dengan smartphone, telepon tersebut dipercaya tidak bisa disadap. Dengan itu saya melakukan komunikasi dengan pegawai Pemda, terkait "jatah" proyek-proyek.
Sampai hari ini telepon genggam --benar-benar dapat digenggam, saking kecilnya-- tersimpan rapi. Masih bagus dengan sedikit pemakaian. Mau membelinya? Lha, kok malah ngiklan ....
Menggunakan telepon dengan fitur sederhana bukan karena butuh jeda dengan smartphone. Apalagi untuk mengatasi technostress. Tidaklah yauw! Saya belum bisa Hidup Tanpa Smartphone.
Saya menggunakan telepon jadul untuk berkomunikasi secara rahasia dengan oknum pegawai Pemda, terkait proyek-proyek. Dengan hp jadul, leluasa melakukan pembicaraan rahasia tanpa khawatit disadap.
Lha kalau disadap kemudian ditangkap oleh KPK, barangkali saya tidak sempat atau males menulis artikel ini.