Dewasa ini smartphone menyediakan segala keperluan. Seolah dunia dalam genggaman. Rasa-rasanya, mudah menjumpai orang menggenggam atau mengantongi smartphone.
Telepon pintar memudahkan menjalankan banyak hal. Seseorang bisa melangsungkan apa saja karena smartphone memiliki kemampuan, antara lain:
- Melakukan dan menerima panggilan dan seluler dan SMS menggunakan pulsa provider.
- Mengirim dan menerima surel.
- Mengenali lokasi dan menavigasi dengan GPS navigation system.
- Memudahkan untuk selalu terhubung melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, X (Twitter), LinkedIn.
- Mengambil foto dan perekaman dengan sekali sentuh atau mengusap layar.
- Sebagai alat pemutar musik dan video.
- Menjelajahi internet melalui jaringan selular (3G, 4G, 5G) dan Wi-Fi.
- Membuat panggilan video dan menyediakan ruang untuk melakukan pertemuan tatap muka.
- Memberikan sarana hiburan, permainan, membaca buku, menonton film.
- Sebagai alat komunikasi, berbagi gambar dan video, dan berbagi link.
- Sebagai alat pembayaran bergerak (mobile banking, QRIS, dompet digital)
- Membantu penghitungan langkah kaki (beberapa merek dilengkapi dengan pedometer, alat penghitung langkah)
- Beberapa merek smartphone juga dilengkapi dengan meteran (tape measure).
Artinya, hanya dengan smartphone seseorang bisa melakukan banyak hal yang memudahkan hidupnya.Â
Namun, kelengkapan tersebut menghadirkan kecemasan bagi sebagian orang. Mereka ingin menghindari smartphone. Ingin kembali ke zaman rikiplik, yakni menggunakan telepon genggam jadul dengan fitur dasar (telepon dan SMS).
Baru tahu ada orang yang "ketakutan" dengan kemampuan hebat smartphone, sehingga saya tidak tahu persis penyebab kecemasan tersebut.
American Psychological Association menyebut stres karena teknologi sebagai technostress. Merupakan stres dalam pekerjaan terkait dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, perangkat seluler, dan media sosial (https://dictionary.apa.org/technostress).
Technostress pertama kali didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk beradaptasi atau mengatasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan cara sehat (Brod, C., 1984).
Kecemasan ini umumnya melanda orang di semua tingkatan pada organisasi dengan lingkungan yang terhubung komputer.
Mereka cemas dan kewalahan menghadapi informasi baru yang mengalir terus menerus. Dampaknya, merugikan terhadap kesehatan, produktivitas, dan kepuasan kerja individu.
Sudah banyak bahasan untuk mengatasi technostress. Dari mulai menggunakan smartphone secara bijak, membatasi pamakaian, hingga yang ekstrem meninggalkannya dan beralih ke telepon genggang dengan fitur sederhana.
Saya tidak pernah ingin meninggalkan smartphone hanya karena cemas dengan membludaknya informasi baru. Tidak. Pernah sih beberapa hari tidak menyentuhnya, karena telepon pintar rusak.
Waktu saya masih aktif, kadang-kadang smartphone membuat panik atau menimbulkan keinginan untuk terburu-buru.
Misalnya, ada satu pekerjaan belum selesai yang sudah mepet dengan batas akhir. Pun, panggilan WA atau chat dari pemeriksa, oknum ormas dan wartawan, Babinsa, dan lain-lain yang berarti harus menyediakan sejumlah uang tutup mulut.
Meskipun sempat menimbulkan stres, hal-hal demikian tidak menyurutkan hati untuk meninggalkan fungsi smartphone. Tidak perlu tertekan karena teknologi.
Memang dalam masa itu saya sengaja membeli telepon genggam fitur dasar tanpa kamera. Satu untuk saya, satu lagi untuk pegawai Pemda.
Beda dengan smartphone, telepon tersebut dipercaya tidak bisa disadap. Dengan itu saya melakukan komunikasi dengan pegawai Pemda, terkait "jatah" proyek-proyek.
Sampai hari ini telepon genggam --benar-benar dapat digenggam, saking kecilnya-- tersimpan rapi. Masih bagus dengan sedikit pemakaian. Mau membelinya? Lha, kok malah ngiklan ....
Menggunakan telepon dengan fitur sederhana bukan karena butuh jeda dengan smartphone. Apalagi untuk mengatasi technostress. Tidaklah yauw! Saya belum bisa Hidup Tanpa Smartphone.
Saya menggunakan telepon jadul untuk berkomunikasi secara rahasia dengan oknum pegawai Pemda, terkait proyek-proyek. Dengan hp jadul, leluasa melakukan pembicaraan rahasia tanpa khawatit disadap.
Lha kalau disadap kemudian ditangkap oleh KPK, barangkali saya tidak sempat atau males menulis artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H