Tampak sederhana. Hal yang simpel bagi sebagian orang. Namun, bagi saya ihwal yang terlihat biasa itu menyiratkan perkara lebih kompleks.
Kira-kira satu dekade lampau. Perusahaan saya menjadi rekanan pabrik perakitan barang elektronik afiliasi entitas usaha Korea Selatan, di sebuah kawasan industri di Cibitung, Kabupaten Bekasi.
Demi mengembangkan usaha, saya mengunjungi beberapa tenant potensial di area tersebut. Satu tujuan pemasaran adalah sebuah pabrik suku cadang.Â
Pada bangunannya terdapat ruang untuk menampung pegawai kantor dan menerima tamu. Memasuki bilik penerimaan disambut seorang petugas, yang dengan ramah meminta saya melepas alas kaki dan meletakkannya di rak.
Sepatu tersusun rapi. Tidak berantakan apalagi keleleran di sekitarnya.
Sebagai pengganti, ia memberikan sandal. Dengan itu barulah saya masuk ke kantornya, menuju ruang rapat.
Sederhana. Meletakkan sepatu pada tempatnya dengan rapi.
Perusahaan tersebut milik orang Jepang. Mengikuti kebiasaan di negaranya, semua orang tanpa kecuali melepas sepatu di pintu masuk dan menaruhnya di rak atau locker, sebelum memasuki ruangan (sumber).
Panduan Resmi Jepang, Travel Japan, mengatakan bahwa budaya melepas sepatu telah mengakar (sumber).
Mereka yang ingin memasuki suatu ruangan melepas alas kaki di ambang pintu masuk. Meletakkan di rak di sampingnya lalu menggunakan sandal yang telah disediakan.
Kebersihah telah diajarkan sejak berabad-abad lalu. Kesadaran untuk menjaga kebersihan dan kerapian menjadi gaya hidup orang Jepang.
***
Jauh setelah itu, beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah poliklinik untuk mendapatkan terapi.
Klinik fisioterapi berada di dekat ruang Tumbuh Kembang Anak. Di samping pintu masuknya terletak rak sepatu.
Tertulis pada sebuah tempelan, mohon alas kaki dilepas. Semua orang tanpa kecuali harus melepaskan alas kaki sebelum memasuki ruangan.
Oleh karenanya, tersedia rak yang saya kira cukup menampung sepatu/alas kaki pengunjung klinik Tumbuh Kembang Anak.
Namun, tidak semua bilik-bilik bersekat itu terisi alas kaki. Sandal jepit, sandal kulit, sepatu sandal, kets, dan teman-temannya bergeletakan di sekitar pintu. Berantakan. Morat-marit.
Tambah keleleran, ketika satu dua pengunjung dengan wajah tak berdosa menendang alas kaki yang sekiranya menghalangi.
***
Ada perbedaan terang benderang. Antara tempat rapi dengan tempat dengan alas kaki diletakkan serampangan, kendati tersedia rak sepatu.
Perkara sepele, tetapi merefleksikan kebiasaan sebagian orang yang abai terhadap kerapian, kebersihan, ketertiban
Dalam lingkup lebih lebar, tidak sulit menemukan sampah di jalan, selokan, aliran sungai, pantai, dan seterusnya. Sepertinya, permukaan bumi merupakan tempat sampah terbesar yang gampang dicapai.
Contoh lain. Beberapa kali saya melihat kendaraan parkir di bawah rambut bulat "S" coret. Suara knalpot brong diletakkan asal-asalan tanpa mengenal waktu mengganggu ketenangan. Kendaraan semrawut tidak berada di jalur masing-masing tanpa mau mengalah. Perilaku tidak disiplin saat antre. Kebiasaan tidak tepat waktu. Dan seterusnya.
Dengan kata lain, kerapian berkaitan dengan kebersihan, ketertiban, disiplin, dan sikap sabar.
Ya, sabar. Individu tidak sabar cenderung tergopoh-gopoh. Tidak peduli apakah itu membuat keadaan menjadi berantakan atau perbuatan melanggar aturan.
Berkaca dari pengalaman di atas, dari waktu ke waktu saya belajar untuk berlaku rapi dengan meletakkan sesuatu pada tempat disediakan. Mengikuti kebiasaan tersebut adalah perilaku lebih sabar, disiplin, dan bersih.
Saya tidak berusaha meniru gaya hidup orang Jepang, tetapi ingin berada di lingkungan nyaman.
Maka dengan ini saya mengajak siapa pun untuk memulai melakukan langkah sederhana: meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan rapi.
Termasuk menempatkan individu pada jabatan, sesuai dengan kompetensi dan berlandaskan proses seleksi memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H