Keluarga follow media sosial kita, kenapa tidak? Memang masalah?
Platform media sosial adalah sarana berbagi informasi, gagasan, dan gambar dalam jaringan yang terkoneksi luas secara daring. Penggunanya bisa berinteraksi dengan sesama pengguna yang berada di dalam lingkaran pertemanan.
Pertama saya mengenal media sosial adalah Facebook (Meta). Jaringan sosial bikinan Mark Zuckerberg itu menghubungkan saya dengan teman-teman lama yang sebelumnya tidak saling punya kontak, teman dari teman sebagai kenalan baru, dan kerabat dekat atau yang jauh,
Termasuk di dalamnya adalah teman yang berasal dari Kompasiana. Sejak tahun 2011 jaringan dari platform blog keroyokan ini melejitkan jumlah teman di FB. Menjadi ribuan, tetapi tidak lebih dari 5.000 akun.
Kalau bisa disebut sebagai medsos, tahun 2008-2009 saya ikut-ikutan jadi anggota situs komunitas dunia maya buatan lokal.
Tahun 2011 bergabung dengan Twitter (sekarang X). Namun, karena waktu itu tidak familier dengan penggunaannya, saya tidak aktif sampai bertahun-tahun kemudian. Belakangan mulai memanfaatkannya, salah satunya untuk membagikan artikel di Kompasiana.
Sempat ikut bergabung dengan statusbook.com, "medsos" bikinan sebagian Kompasianer, di tahun 2011 atau 2012. Namun, situs itu tidak bertahan lama.
Saya bergabung dengan Instagram di tahun 2016.
Di FB, Twitter, dan Instagram beberapa keluarga menjadi teman. Selama itu belum pernah ada ganjalan terkait unggahan masing-masing. Juga tidak ada reaksi istimewa terkait unggahan-unggahan itu.
Komunikasi langsung di dunia nyata bagi saya masih terasa nyaman, daripada via medsos. Kalau mau berkabar dengan keluarga di lain kota, ya tinggal telepon. Buat apa repot-repot ngobrol melalui media sosial?