Mengetahui ada "permainan" dalam proses pengadaan barang dan jasa, seorang pegawai KPK gadungan memeras pejabat Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kabutapen Bogor.
Peristiwa itu kemudian mengingatkan pada kejadian satu dekade lalu. Beberapa hari usai pergantian tahun, jantung saya hampir copot dari kedudukannya.
Pangkal perkaranya, sebuah panggilan selular mengatakan bahwa barang kiriman belum lengkap, sementara pembayaran sudah lunas 100 persen.
Ceritanya, saya mendapatkan kontrak pengadaan mebeler kayu keras untuk SD. Terdiri dari meja dan kursi siswa, meja dan kursi guru, lemari, serta papan tulis.
Mestinya, kontrak berakhir seminggu sebelum tutup tahun. Sebelum batas waktu barang harus terkirim lengkap, yang dibuktikan dengan tanda terima barang dari kepala sekolah.
Masalahnya, pesanan membludak. Waktu itu bangku SD belum dibuat di pabrik seperti umumnya sekarang, tetapi di perajin kayu yang mendapat dukungan resmi dinas. Tidak banyak perajin seperti itu.
Penyelesaian mebeler rakitan menjadi lambat, mengingat banyaknya pesanan. Dipastikan tidak semua barang dapat dikirimkan sebelum akhir tahun.
Sedangkan, pengiriman terlambat atau kurang maka pembayaran tidak dapat diproses. Untuk mengakalinya, tanda terima harus ditandatangani kepala sekolah, meskipun barang belum lengkap.
Dengan dasar itu dan rekayasa foto-foto penerimaan barang, dibuat Berita Acara Serah Terima Barang (BAST) untuk proses penagihan. Tentu saja perlu pelicin untuk mendapatan tanda terima, BAST, dan dokumen sah lainnya.
Akhirnya anggaran, setelah dipotong pajak-pajak, masuk ke rekening giro perusahaan saya tepat pada waktunya. Kekurangan barang akan dikirim setelah perakitan mebeler selesai, yakni bulan berikutnya. Lewat tahun.