Matahari mencurahkan sinarnya ke darat. Udara siang menyengat. Saya memasuki sejuknya toko retail modern di samping bangunan eks Toserba Matahari Kota Bogor. Beberapa orang di depan saya memilih minuman dari rak atau lemari berpendingin.
Seperti sudah sangat mengenal barang dituju atau tertanam dalam pikiran, mereka tangkas mengambil botol minuman tertentu tanpa sedikit pun mengamati petunjuk tentang zat-zat terkandung.
Tidak mengamati tulisan kecil-kecil tentang komposisi bahan pembuatnya, tanggal kedaluwarsa, dan petunjuk lainnya. Pandangan pertama lebih tertuju pada wujud serta tulisan besar yang menyatakan merek, rasa, dan volume (ekstra isi akan menarik perhatian).
Paling penting, minuman segar dimaksud sudah ditangan untuk segera diguyurkan ke kerongkongan. Buat apa mengamati keterangan pada kemasan?
Sebagian orang menyukai minuman berpemanis merek tertentu. Dingin, manis, menyegarkan, dan terbiasa dengan satu jenis minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Saya jarang mengamati keterangan tentang komposisi bahan sebelum membeli minuman bergula, terkecuali jika lagi iseng membacanya. Biasanya itu tidak memengaruhi pilihan.
Termasuk minuman bergula antara lain minuman teh dan kopi kemasan, minuman energi, jus buah kemasan, susu kemasan dengan rasa, minuman bentuk bubuk, minuman bersoda, air minum berperisa (flavored, ditambah bahan untuk menguatkan rasa dan aroma).
Menurut penuturan National Professional Officer, Policies, and Legislation Healthier Population WHO Indonesia Dina Kania, umumnya MBDK memiliki kandungan tinggi gula.
Satu merek minuman teh kemasan mengandung 5,5 sendok teh (sdt) gula. Satu merek minuman bersoda mengandung 8,5 sdt gula, jus buah 9,5 sdt gula, minuman energi memiliki 10 sdt gula.
Kementerian Kesehatan menganjurkan batas aman konsumsi gula setiap orang, yakni 50 gram per hari setara 4 sendok makan gula sehari (sekitar 12 sdt). Komsumsi tersebut mencakup gula ditambahkan ke masakan, kue-kue dan jajanan, minuman teh atau kopi, MBDK, dan sebagainya.
Diduga tingginya konsumsi makanan dan minuman tinggi gula memicu peningkatan kasus obesitas di Indonesia, pada penduduk usia 18 tahun ke atas. Dari 15,4 persen (2013) ke 21,8 persen (2018).
Konsumsi MBDK berperan atas kenaikan jumlah kasus obesitas. Pemakaian MBDK di Indonesia merupakan tertinggi di Asia Tenggara, yakni 20,23 liter per orang di tahun 2019.
Pemerintah berwacana melakukan intervensi untuk menurunkan risiko diabetes, melalui penempelan Label Kandungan Gula pada kemasan minuman berpemanis.
Wacana ini patut diapresiasi. Label khusus akan membuat konsumen memilih-milih jenis minuman dengan kandungan gula lebih rendah. Itu pun kalau mereka menghiraukan pentingnya menjaga kesehatan.
Upaya hampir sebentuk pernah dilakukan untuk produk lain. Sejak Juni 2014, pemerintah mewajibkan pemasangan gambar peringatan bahaya merokok pada kemasan dan iklan bermuatan rokok.
Memang ada penurunan konsumsi, namun meningkat tinggi pada tahun 2019. Menurun lagi tahun 2020 karena ada kenaikan harga rokok [rangkuman Laporan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB) Kementerian Keuangan].
Peredaran rokok ilegal dapat menambah tingkat konsumsi, kendati saya belum mengetahui angka persisnya.
Saya menduga, gambar peringatan pada kemasan tidak menghentikan para perokok. Malahan sewaktu saya masih merokok, gambar peringatan menjadi bahan olok-olok di antara teman-teman perokok.
Pengalaman serupa bisa jadi akan menimpa label kandungan gula pada kemasan minuman berpemanis. Komsumen melihat sebentar, kemudian mengabaikannya dan tetap meneguk sampai habis isi MBDK mengandung tinggi gula.
Membaca sekilas isi label tanpa memahami konsekuensinya. Boro-boro mengindahkannya, konsumen kehausan di udara panas lebih melihat wujud atau merek MBDK favorit.
Pemerintah perlu menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai batas konsumsi pemanis. Tanpa itu, percuma mengingatkan konsumen MBDK dengan penempelan label kandungan gula.
Boleh menggunakan iklan audio visual melalui beragam media, tetapi kreatif sedikitlah. Jangan seperti iklan menjelang akhir tahun buatan lembaga pemerintah, sudah panjang tidak menarik pula.
Baiknya, kerja bareng agensi profesional dan terkemuka. Membangun advertensi memikat yang menerangkan kepada lebih banyak permirsa.
Langkah edukasi lainnya adalah membekali lembaga yang terhubung langsung dengan warga seperti RT/RW, posyandu, dan penggiat swadaya masyarakat lainnya dengan konsumsi pemanis. Informasi praktis mudah dimengerti masyarakat umum mengenai batas konsumsi gula dan bahaya menyantap pemanis secara berlebihan.Â
Mengedukasi masyarakat tentang batas konsumsi gula harian memerlukan waktu, tetapi harus dilakukan. Daripada meminta produsen untuk mengurangi kandungan pemanis dalam MBDK sampai jumlah tertentu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H