Kementerian Kesehatan menganjurkan batas aman konsumsi gula setiap orang, yakni 50 gram per hari setara 4 sendok makan gula sehari (sekitar 12 sdt). Komsumsi tersebut mencakup gula ditambahkan ke masakan, kue-kue dan jajanan, minuman teh atau kopi, MBDK, dan sebagainya.
Diduga tingginya konsumsi makanan dan minuman tinggi gula memicu peningkatan kasus obesitas di Indonesia, pada penduduk usia 18 tahun ke atas. Dari 15,4 persen (2013) ke 21,8 persen (2018).
Konsumsi MBDK berperan atas kenaikan jumlah kasus obesitas. Pemakaian MBDK di Indonesia merupakan tertinggi di Asia Tenggara, yakni 20,23 liter per orang di tahun 2019.
Pemerintah berwacana melakukan intervensi untuk menurunkan risiko diabetes, melalui penempelan Label Kandungan Gula pada kemasan minuman berpemanis.
Wacana ini patut diapresiasi. Label khusus akan membuat konsumen memilih-milih jenis minuman dengan kandungan gula lebih rendah. Itu pun kalau mereka menghiraukan pentingnya menjaga kesehatan.
Upaya hampir sebentuk pernah dilakukan untuk produk lain. Sejak Juni 2014, pemerintah mewajibkan pemasangan gambar peringatan bahaya merokok pada kemasan dan iklan bermuatan rokok.
Memang ada penurunan konsumsi, namun meningkat tinggi pada tahun 2019. Menurun lagi tahun 2020 karena ada kenaikan harga rokok [rangkuman Laporan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB) Kementerian Keuangan].
Peredaran rokok ilegal dapat menambah tingkat konsumsi, kendati saya belum mengetahui angka persisnya.
Saya menduga, gambar peringatan pada kemasan tidak menghentikan para perokok. Malahan sewaktu saya masih merokok, gambar peringatan menjadi bahan olok-olok di antara teman-teman perokok.
Pengalaman serupa bisa jadi akan menimpa label kandungan gula pada kemasan minuman berpemanis. Komsumen melihat sebentar, kemudian mengabaikannya dan tetap meneguk sampai habis isi MBDK mengandung tinggi gula.
Membaca sekilas isi label tanpa memahami konsekuensinya. Boro-boro mengindahkannya, konsumen kehausan di udara panas lebih melihat wujud atau merek MBDK favorit.