Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nikmati Gudegnya dan Habiskan Ayam sampai Tulang-tulangnya

13 Juli 2024   06:05 Diperbarui: 14 Juli 2024   17:03 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan belanga dan food pan (dokumen pribadi)

Ada kala pada malamnya Yogyakarta saya gagal menaati tutur lembut nenek, "Makan harus habis. Kalau tidak, petani menangis."

Setiap makan, makan apa saja kecuali daun pintu dan jendela, saya menghabiskan isi piring sampai ke butir penghabisan. Dalam keadaan tidak sehat pun makanan disantap bersih, asalkan porsinya tidak berlebihan.

Namun, sepuluh tahun lalu ketaatasaan atas nasihat nenek sempat runtuh. Begini kisahnya.

Bersama teman-teman saya tiba di Yogyakarta melewati jam makan malam. Badan lelah ditambah perjuangan melawan pemberontakan perut.

Teman yang mengenal setiap tikungan di Kota Perjuangan memandu jalan, menembus gang, berhenti di sebuah rumah sederhana. Memasuki rumah khas menuju ruang lumayan luas berisi tungku kayu bakar dan meja. Rupa-rupanya rumah merangkap tempat makan.

Baiklah. Mengikuti teman-teman, saya memesan gudeg yang menjadi keistimewaan rumah makan tersebut. Sepiring nasi gudeg lengkap dengan telur bulat terhidang di hadapan. 

Dengan Basmalah tanpa tolah-toleh saya menyendok sajian. Sejenak mengunyah, berhenti. Menelan sebisanya sisa hidangan yang bagai gula merah.

Saya meletakkan sendok garpu, lalu memesan ayam semur. Memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam, saya berhenti lagi. Berasa kolak ayam.

Jadinya saya makan merahnya telur bersama nasi putih tertinggal belum terkontaminasi manisan.

Seumur-umur baru kali itu saya menyisakan makanan di piring.

Sesungguhnya saya bukan tidak suka dengan gudeg dan semur. Boleh dibilang, takada makanan yang tak enak di lidah saya. Prinsipnya, terdapat dua tipe makanan: enak dan enak banget!

Sebelumnya, beberapa kali saya menikmati sajian gudeg. Demikian juga pada tahun-tahun berikutnya. Tahun 2017, saya makan gudeg di satu tempat di Yogyakarta kendati bukan yang dulu.

Saya makan gudeg di Jetis, Jalan Trimargo Kulon Cokrodiningratan. Tempat makan sederhana dekat SMK 3 Yogyakarta memberikan standar gudeg enak. Pas di lidah saya.

Manisnya memadai. Gudeg memang cenderung manis, tetapi gudeg Yu Kartini itu tidak berasa seperti menelan gula merah.

Sabtu pekan lalu "menemukan" tempat makan penyedia gudeg di Kota Bogor. Hidangan disajikan dan terbuat dari nangka muda itu ternyata memiliki rasa pas di lidah saya

Lapar setelah berjalan-jalan di kawasan perumahan Taman Yasmin dan memang waktunya makan siang, saya menyisir Jalan M. Nuh yang padat kendaraan mencari tempat makan.

Di sepanjang jalan dua lajur terdapat beberapa restoran hingga penjual makanan kaki lima. Banyak pilihan, antara lain: masakan Sunda, makanan kafe, aneka soto, sate, bakso, mi ayam, warteg.

Satu spanduk membujuk saya untuk mengikuti tanda panah sejauh 20 meter. Terpisah dari keriuhan lalu-lintas macet, terdapat satu tempat dengan meja kursi dari kayu. Suasananya tampak nyaman.

Pada satu bagian dipajang memanjang beberapa gerabah dengan tutup anyaman bambu. Di samping mereka terletak food pan isi aneka lauk.

Deretan belanga dan food pan (dokumen pribadi)
Deretan belanga dan food pan (dokumen pribadi)

Begitu menempelkan bokong di kursi, hujan turun. Deras. Ada untungnya segera memilih tempat makan yang diperkirakan berukuran 15 X 10 meter persegi itu.

Saya memesan menu paket, yaitu nasi gudeg berikut sambal, krecek, dan tumis jantung pisang. Lauk tambahannya, tempe bacem dan garang asem ayam.

Ilustrasi garang asem ayam. (Dok. Sajian Sedap diunduh melalui kompas.com)
Ilustrasi garang asem ayam. (Dok. Sajian Sedap diunduh melalui kompas.com)

Rasa gudegnya tidak jauh beda dengan rasa gudeg di Jetis Yogyakarta. Enak sesuai selera saya yang bukan asli Yogya. Tidak gula banget. Tidak garam sekali. Pas.

Begitu juga dengan rasa krecek dan tumis jantung pisang, sedap. Garang asem ayam kecutnya terasa, tetapi tidak keterlaluan. Perpaduan manis dan asinnya tempe bacem seimbang.

Meskipun gudeg dan krecek (mungkin juga tumis jantung pisang) diberi bumbu santan, masakan tersebut tidak berasa "berat" di kepala. Barangkali, barangkali ya, tidak bakal memicu kenaikan kolesterol.

Nasi gudeg, krecek, tumisan, tempe bacem, sambal ludes tersisa alasnya. Bahkan garang asem ayam habis sekalian tulang-tulangnya!

Doyan tulang?

Tulang ayam bukan habis dimakan saking enaknya, tetapi dibungkus untuk dibawa pulang. Kucing di rumah menyukainya.

Saya menaati nasihat almarhumah nenek, menghabiskan makanan sampai habis.

Semua hidangan dinikmati tanpa sisa dengan membayar (seingat saya): gudeg kurang dari Rp25.000; tempe bacem Rp12.000; garang asem ayam Rp22.000; wedang (jahe, rosela, serai, gula batu) Rp15.000.

Hujan turun lumayan lama. Saatnya berleha-leha menikmati suasana, seraya memberi kesempatan kepada perut untuk bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun