Bersamaan memusatkan perhatian ke bawah tanpa aba-aba, aku dan teman-teman memeriksa kalau-kalau kaki wanita itu tidak menjejak tanah. Â
Pada sebuah ketinggian, mulut langit meniup kumpulan jarum panjang bercabang dua, mengorkestrasi desis nan megah bernuansa teduh sekaligus magis.
Mereka tidaklah runtuh serta rubuh, sungguhpun awan mengembus seketika menyembur dan mengguncang, sampai-sampai tampak mengayun anggun ke kiri kanan tanpa pernah bisa patah, lantaran ditopang oleh pokok kayu yang terbungkus kulit retak-retak.
Pohon-pohon gagah menyergah angkasa, mungkin sekitar empat puluh meter tingginya, mengelilingi satu-satunya tanah relatif datar, yang berumput dan tidak berbatu sehingga dapat digunakan sebagai tempat bermain sepakbola dengan cara paling bersahaja.
Aman, Iriana, Encep, dan aku yang sedang menikmati suara pinus bercengkerama dengan angin sejenak terpana. Terpesona oleh sebuah panorama menggetarkan.Â
Pemandangan yang mustahil ditemukan di keramaian jalanan Kota Bandung, kecuali di dalam kamar tertutup serba redup.
Di hadapan, seorang wanita muda membawa seikat ranting dan potongan kayu di atas kepalanya. Mengangguk seraya tersenyum manis. Satu tangan memegang beban sementara lainnya melenggang.
Perempuan mencari bahan bakar untuk keperluan rumah tangga adalah pemandangan langka di perkotaan, di mana umumnya warga metropolis memasak menggunakan minyak atau gas tabung 12 kilogram. Tahun 1980-an elpiji melon belum ada.
Bukan soal langkanya perempuan kisaran usia 20-25 tahun menyunggi kayu bakar yang bikin mata melotot.
Kain batik lusuh menutupi kaki hingga pinggang rampingnya. Bagian perut hingga bahu tak terlihat sehelai kain sekalipun kutang.
Bersamaan memusatkan perhatian ke bawah tanpa aba-aba, aku dan teman-teman memeriksa kalau-kalau kaki wanita itu tidak menjejak tanah. Â