Sebelum kepala terlanjur mengembung, aku dan teman-teman segera membalas sapaan. Melanjutkan perjalanan, di hadapan terhidang jalan setapak, zig-zag, dan menanjak untuk disantap sampai puncak tujuan.
Kendati jalan dibuat berliku kiri kanan agar lebih landai, bagiku masih terlalu mendaki. Â Aku menapakkan kaki satu demi satu secara perlahan seraya mencondongkan badan ke depan. Sasaran ditetapkan cuma satu: saung tempat istirahat!
Sampai tujuan, napasku hampir putus kala meraih tiang saung dengan pandangan berkunang-kunang. Butuh waktu lumayan lama untuk minum, menghabiskan bekal, dan menimba udara.
Tujuan terakhir adalah rumah Pak Apung, tempat menginap selama beberapa hari. Saat itu aku dan teman-teman menghabiskan waktu dua jam untuk mencapai kampung di atas bukit.
Pak Apung dan istrinya amatlah ramah. Wanita pendamping yang tampaknya berperawakan terlalu tinggi untuk warga di desa itu, bahkan untuk ukuran kota.
Melihat sepintas, bola matanya sedikit kebiru-biruan. Rambutnya panjang, berombak, dengan warna keemasan. Bukan karena sering terpapar sinar matahari, kalau itu mah rambut kuning butek. Ini lebih tepat disebut pirang, agak pirang. Entahlah.
Pada hari Sabtu sore seorang gadis ikut membantu menghidangkan camilan dan kopi.
"Ini anak saya. Seminggu sekali atau pas libur, pulang kampung."
Belakangan aku mengetahui gadis itu bernama Kania. Tidak seperti gadis-gadis di desanya yang menikah dini, Kania lebih suka melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Berbincang dengannya, aku tahu ia sedang menjalani tahun awal di IKIP, Institut Keguruan dan Pendidikan, Bandung (kemudian menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).
Gadis dengan pandangan maju. Rasanya betah berada di dekatnya membincangkan segala hal. Ilmu pengetahuan, kondisi mutakhir, rencana-rencana, hingga masa depan. Percakapan menyenangkan berlangsung pada kepulangan menuju rumah Pak Carik, pada hari Senin setelah subuh.