Tak lama kelegaan sontak meliputi, meski empat pasang mata masih nanap menatap keindahan.
"Itu lumrah di kampung ini. Maklum kurang pendidikan. Lagi pula, umumnya warga di sini masih satu kaum" terang Kepala Kampung, yang lazim dipanggil "Pak Apung" saja.
Pak Apung bertubuh gempal. Berwibawa, pintar, memiliki wawasan, dan gemar berjalan kaki menjelajahi bukit-bukit.
Kampung itu berada di hampir pucuk sebuah bukit. Lereng pembentuk tumpukan tanah tinggi tersebut memiliki kemiringan empat puluh lima derajat.
Untuk mencapainya, warga membuat jalan setapak yang berliku demi membuat sudut lebih landai lagi mudah dijejaki. Meskipun demikian, jalan dengan jurang kiri kanan masih terlalu berbahaya jika dilewati sepeda motor.
Maka bila dilihat dari SMA Negeri Cililin, jalan itu terlihat seolah benang kapas, yang dijahit dengan setelan zig-zag paling renggang pada mesin Singer.
Ya! Sekolah menengah tersebut menjadi semacam gerbang bagi jalan setapak menuju kampung di atas bukit. Satu-satunya kampung yang belum sempat aku dan teman-teman jelajahi.
Satu kegiatan penting KKN adalah menjelajahi wilayah desa tempat penugasan. Mengedari seluruh bagian dari desa agar memperoleh potret lengkap kehidupan warga.
Enam orang mahasiswa berbeda jurusan, dua wanita dan empat pria, melaksanakan pengabdian masyarakat di Karangtanjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
Selama tiga bulan berada di sana aku dan teman-teman membelanjakan waktu, pikiran, dan tenaga di wiayah desa, yang sebagiannya bersisian dengan genangan Waduk Saguling.
Para wanita menginap di rumah Pak Opan Sopandi, yaitu carik atau sekretaris desa (sekdes). Para mahasiswa pria tinggal di seberangnya, pada sebuah bangunan kosong bekas kios pupuk milik sekdes.