Di atas selembar daun pisang melebur kebersamaan, kekerabatan, isyarat balas budi, dan perwujudan terima kasih.
Satu tangan memenggal pelepah, tangan lain memegang bagian helai agar tidak jatuh menghantam tanah.
Perlu daun pisang batu utuh sebagai alas meletakkan nasi, lauk-pauk, lalapan dan sayur matang tidak berkuah, serta sambal.
Beras boleh ditanak seperti biasa sebagai nasi putih. Atau dimasak dengan panci besi --disebut kastrol-- menjadi nasi liwet.
Ragam lauk-pauk bisa berganti tergantung keinginan. Umumnya terdiri dari: ikan goreng atau yang sudah diasinkan lalu digoreng, tempe, tahu, orek tempe.
Jika boleh disebut sebagai lauk, jengkol atau pete menjadi primadona.
Sedangkan sayur simpel saja. Lalap atau tumisan.
Versi lebih luks, teman nasi berupa ayam goreng, pepes ikan mas, hingga daging goreng alias empal. Dan tentu olahan sayur.
Acara makan di atas daun pisang bersama teman-teman merupakan acara khusus, diselenggarakan usai melakukan atau merayakan suatu keberhasilan atau kemenangan.
Tentu saja yang diundang dalam makan bersama adalah kerabat, sahabat, mereka yang terlibat dalam kerja bareng atau pencapaian, dan orang luar yang memiliki kontribusi penting kepada tim.
Artinya, orang lain yang tidak punya peran kepada kelompok tersebut, apalagi yang berseberangan, tidak bakal diundang.
Rudolfo termasuk orang luar yang sering berkontribusi terhadap kemajuan tim, sehingga setiap ada acara makan bersama ia diundang.
Ia datang tidak pas acara. Hadir sebelumnya untuk bantu-bantu.
Daun pisang mulus dan utuh sebagai alas makanan adalah hasil perburuannya di kebun belakang. Lalu ia akan merapikan, membersihkan, meletakkannya secara hati-hati di atas tikar.
Rudolfo mengamati dan penasaran dengan apa hidangannya.
"Kali ini apa hidangannya? Liwet atau nasi putih? Ikan asin atau ayam?"
Apa pun setelah makanan disajikan, Rudolfo melahapnya penuh semangat dengan jumlah makanan paling banyak.
Tiap-tiap diundang makan di atas daun pisang bersama teman-teman, Rudolfo mengulang-ulang pertanyaan sebelum makanan tersaji.
"Kali ini apa hidangannya?"
"Tak usah tanya-tanya! Makan, makan aja," ketus temannya.
Meskipun selalu mendapat sergahan dari teman-temannya, Rudolfo tidak kapok menanyakan hal itu-itu saja.
"Kali ini apa hidangannya?"
Bosan dengan pertanyaan itu-itu saja, kemudian teman-temannya tidak menjawab.
Toh apa pun hidangan, Rudolfo akan melahap sajian penuh semangat dengan jumlah paling banyak.
Satu ketika tim memperoleh sebuah pencapaian hebat, suatu kemenangan besar.
Mereka hendak merayakannya. Akan mengadakan acara makan di atas daun pisang bersama teman-teman secara besar-besaran dengan menu istimewa.
Seperti biasa, makan-makan untuk kelompok mereka sendiri.
Berhubung Rudolfo punya kontribusi, mereka mengundangnya
"O ya, kalau nanti ia bertanya itu-itu saja, jangan dijawab ya! Menyebalkan!"
Seperti biasa Rudolfo datang lebih awal, memotong daun pisang paling bagus, lalu bantu-bantu sebisanya demi memeriahkan acara.
Sambil menunggu, Rudolfo bertanya, "Kali ini apa hidangannya?"
Semua orang tampak sibuk. Fokus pada pekerjaan masing-masing.
"Liwet atau nasi putih?"
Mereka tetap mingkem.
"Ikan asin atau ayam?"
Takada satu pun teman-teman dalam perserikatan mau menjawab pertanyaan menyebalkan dari Rudolfo.
Namun telinga satu orang tampak memerah. Perasaannya kesal. Hatinya membara.
"Lihat gak sih? Semua orang sibuk menyiapkan hidangan paling hebat."
"Ya aku tahu, tapi hidangan apa ?"
Pertanyaan itu-itu saja! Menyebalkan, sangat menyebalkan, demikian menyebalkan sehingga membuat mulut satu orang itu pecah menjadi ember bocor.
"Kali ini sajian istimewa sedang dikemas."
"Hidangan apa itu?"
"Hidangannya adalah, adalah..... jabatan...!!! Puas? Puas? Puasss.......???"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H