Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kursi dari Langit

3 Juni 2024   10:09 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:46 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kursi dari langit oleh Ralph dari Pixabay

Pesawat ringan terbang rendah mengeliling pucuk sebuah patahan purba. Berputar. Berputar beberapa kali.

Perlu diketahui terlebih dahulu, lahan tersebut tadinya satu kesatuan utuh yang luas.

Pada masa lampau, setengah bagian dari lahan tersebut terpotong seperti kue cokelat diiris pisau, lalu ambles sedalam kira-kira 300 meter. Membentuk jurang dan pada bagian terbawah beratus-ratus tahun kemudian air melewatinya, menuju ke tempat yang sudah pasti letaknya lebih rendah.

Dari kejauhan potongan tampak rata, tapi sebenarnya pada beberapa tempat terdapat tonjolan alami.

Potongan tanah dan batuan itu lama-lama ditumbuhi rumput dan beragam tanaman, yang biji-bijinya dibawa oleh para burung. Sedangkan di bagian atas, pada bagian pucuk yang tidak ikut ambles bermukim secara turun temurun sejumlah kepala keluarga berikut buntutnya.

Dari kampung, dari atas jika pada pagi atau sore kita bisa melihat awan-awan seperti kapas, berarak-arak melayang menutupi jurang atau potongan bagian bawah. Makanya mereka yang berkunjung menjulukinya sebagai negeri di atas awan.

Bukan wisatawan. Mereka adalah petualang atau pecinta alam yang mau berpayah-payah membuang keringat dan tenaga, menyusuri jalan terjal beronak duri demi melihat keindahan alam.

Pemandangan biasa saja bagi warga yang hidup dengan bertani dan beternak di bagian lahan cenderung datar. Warga berbadan sehat dan kuat suka mengarit di lereng curam tapi tidak begitu curam yang amat subur. Mengambil rumput dan tanaman perdu terbaik untuk pakan kambing.

Mungkin orang kota ngeri melihat kegiatan warga menuruni dan menaiki tebing. Namun para pengarit sudah terbiasa dan sangat mengenal medan. Mana batu kokoh untuk diinjak dan mana cadas yang sewaktu-waktu ambrol ketika dijadikan pegangan. Mereka juga membawa alat sederhana: arit, keranjang bambu, tali.

Meskipun berjumlah sedikit sehingga kampung tidak padat, warga hidup rukun dan damai tanpa ada perebutan dalam hal apa pun. Saling bantu dan bekerja barengan secara tulus tulus merupakan prinsip utama. Kurang lebih serupa dengan gotong royong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun