Sontak warga pembaca berita berlaku cerewet lagi. Cerewet lega. Cerewet gembira. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Warga cerewet lagi dengan komentar pedas.
Berkata keras menanggapi aturan-aturan baru keluar, terkait hukum LTPH (Lembaga Tertinggi Penentu Hukum), pemotongan gaji warga bekerja, dan sebagainya.
Selain beberapa aturan memang menguntungkan keluarga kerajaan, para petinggi tidak mahir cara mengomunisasikan kepada umum pokok-pokok ketentuan terkandung dalam peraturan.
Maka cerewet demi cerewet dengan komentar pedas merambat ke segala arah. Membuat negara di sana gaduh tanpa dapat dicegah.
Kuping raja memerah. Berdarah. Menitik ke lantai. Mengalir membasahi tanah luar istana.
Ia mengumpulkan seluruh petinggi dan legislator kerajaan. Membahas persoalan hangat sedang terjadi. Rapat demi rapat akhirnya menelurkan sebuah rancangan peraturan. Disebut RPAMWC.
Dengan RPAMWC aparat kerajaan dapat menempelkan pita lebar berperekat pada mulut semua warga cerewet. Dengan itu diharapkan tidak ada lagi warga cerewet yang dapat membuat kuping raja berdarah.
Dengan RPAMWC warga negara di sana tidak lagi punya kebebasan mengekspresikan ketidaksetujuan, menyampaikan pendapat kritis, menggali satu kasus (korupsi, misalnya), dan bunyian semacamnya.
Demikian cerita tentang gonjang-ganjing di negara sana. Sekian dan terima kasih
Woy..., apa itu RPAMWC...???
Maaf, maaf, maaf...