Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar "Mengakui Kesalahan" dari Pengalaman

8 Mei 2024   06:07 Diperbarui: 8 Mei 2024   07:13 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafis Mengakui Kesalahan diolah dengan Canva (dokumen pribadi)

Bukan berdasarkan teori seperti umumnya diajarkan di sekolah. Pemahaman didapat setelah mengikuti kelas experiential training kurang dari seperempat abad lalu.

Maka tahun 2000an menjadi titik tolak munculnya kesadaran pentingnya memiliki sikap mengakui kesalahan.

Program pelatihan menggunakan metode pembelajaran berdasarkan peristiwa-peristiwa yang langsung dialami oleh peserta.

Tidak ada diktat, bahan cetak training, dan kesempatan mencatat materi diajarkan. Buku kosong diberikan apabila ada tugas atau pe-er yang harus diselesaikan.

Peserta diminta agar mendengarkan paparan dan instruksi fasilitator yang langsung diterbangkan dari Amerika Serikat. Selama itu pula ia menyampaikan materi dalam bahasa Inggris. Tidak ada penerjemahan.

Sedangkan kemampuan bahasa Inggris peserta beragam, dari mulai yang cuma bisa mengucap "yes no, yes no," hingga yang fasih banget (ada partisipan dari Singapura dan negara luar lainnya).

Ajaibnya, kendati bahasa Inggris sebagian peserta amburadul, mereka lama-lama mengerti apa yang dimaksud oleh fasilitator.

Harga pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga dari Hongkong itu lumayan. Untuk mengikuti satu tingkatan kelas selama 5 hari, menghabiskan kira-kira satu bulan gaji pegawai swasta kelas menengah Jakarta.

Salah satu sesi adalah berinteraksi di luar ruangan dengan orang tidak dikenal, selama --kalau tidak salah-- dua jam.

Tugasnya sederhana. Mengenalkan diri kepada orang atau sekelompok orang belum dikenal, berbincang, cari tahu nama dan tinggal di mana, serta tujuan berada di satu tempat.

Satu regu terdiri dari dua orang. Kelak diketahui, panitia memasangkan dua orang dengan karakter dan kondisi mirip. Saya yang berlatarbelakang bagian keuangan di perusahaan swasta dipasangkan dengan akuntan sebuah BUMN.

Cocok satu sama lain, mudah membuka obrolan, teliti, dan sama-sama berpikir analitis atau banyak pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.

Begitu keluar dari gedung, kami membahas tempat akan dituju. Diskusi penuh perdebatan mencakup segala hal.

Setelah muter-muter, Balai Sidang Jakarta (JCC) menjadi tujuan. Satu alasan, di tempat itu sedang berlangsung pameran. Pasti banyak orang yang bisa dipilih untuk mingle (bergaul).

Tiba di lokasi, kami berdiskusi lagi: orang atau kelompok orang seperti apa yang akan ditemui. Kalau bisa cari yang tidak sedang sibuk, tidak enggan ditanya-tanya, tidak jutek, dan seterusnya.

Setelah lama memilih, akhirnya satu keluarga yang beristirahat sambil jajan es kami datangi. Berbincang menanyakan nama, tempat tinggal, tujuan datang ke JCC (sudah pasti mereka lihat pameran), dan lainnya.

Usai itu kami kembali ke gedung dengan hati senang telah menyelesaikan tugas. Mitra saya mengemudi. Saya mencatat hasil pembicaraan tadi.

Sampai di gedung pelatihan, tepat di depan pintu kelas seluruh panitia berdiri dengan muka ditekuk.

Instruktur bule dengan koper di sampingnya berkata ketus, bahwa ia akan kembali ke Amerika berhubung kami gagal memenuhi komitmen waktu.

Ternyata saya dan teman saya kembali ke tempat pelatihan setengah jam lebih lambat dari waktu ditentukan.

Peserta lain, semua partisipan lainnya memandang marah kepada kami. Saya merasa, tentunya orang-orang mengalami kerugian.

Betapa tidak? Pelatihan belum selesai, instruktur hendak pulang akibat kesalahan kami. Padahal peserta telah membayar di muka (Rp3,5 juta di tahun 2000).

Keputusan instruktur pulang ke negaranya sudah bulat. Takada cara bagus untuk mencegah. Tiada kata-kata tepat untuk merayunya agar kembali mengajar.

Rasanya tulang belulang lepas satu demi satu dari tempatnya. Dalam keputusasaan, saya mau menukar kesalahan dengan segenap jiwa raga asalkan instruktur mengajar kembali.

Dengan dorongan itu saya mengakui kesalahan di hadapan instruktur, para panitia, dan semua peserta pelatihan, sekaligus menyampaikan maaf.

Barangkali itu permintaan maaf tulus yang tidak pernah saya lontarkan sebelumnya. Benar-benar muncul dari hati paling dalam.

Ajaib. Tumbuh perasaan lega setelah mengucapkannya. Muncul rasa pasrah mendalam, siap menerima segala akibat dari kesalahan saya dan teman saya perbuat.

Lebih ajaib lagi, instruktur masuk ke dalam kelas diikuti panitia dan para peserta. Kemudian instruktur bule mengevaluasi peristiwa yang telah terjadi, kurang lebih seperti ini:

  • Mitra saya dalam tugas dan saya adalah, tipikal orang dengan terlalu banyak pertimbangan untuk melakukan hal sederhana. Too much analyzing!
  • Tidak perlu berpikir rumit. Tidak perlu jauh-jauh untuk menyelesaikan tugas. Cukup bergerak di dekat gedung, maka dapat dijumpai orang-orang untuk mingle. Ada pedagang gorengan, penjual minuman, warung, dan sebagainya.
  • Artinya, waktu dua jam mestinya cukup untuk menyelesaikan tugas. Bahkan bisa dikerjakan sambil makan.
  • Keterlambatan waktu merupakan gagalnya kami memenuhi komitmen.
  • Bagian paling penting adalah, ketika berbuat kesalahan segera akui dan meminta maaf secara tulus, serta siap bertanggung jawab.

Pembelajaran mengakui kesalahan langsung didapat dari peristiwa yang benar-benar terjadi. Kejadian nyata, bukan sekadar ceramah berbusa-busa atau kajian dengan banyak teori.

Hasilnya, saya sampai sekarang masih mengingat peristiwa itu dan memahami pentingnya sikap mengakui kesalahan. Juga berkomitmen atau berjanji pada diri sendiri, bukan kepada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun