Kopi diseduh tidak ditambahkan gula. Ia sudah pasti mengenal seleraku.
Sebaliknya aku tahu - dan semua orang juga mengetahuinya tanpa perlu mencintainya - bahwa si penyeduh kopi tanpa gula itu memiliki paras manis.
Sangat manis. Begitu manis, sehingga aku tidak pernah bosan berada di sampingnya.
Maka aku tidak akan jemu memandang lekat kepadanya, di mana pada bagian kiri kanan wajahnya yang berkulit bersih nan halus terletak simetris: dahi mulus, alis bersudut lembut dengan lengkungan dangkal, mata bening berbulu lentik, hidung feminim, bibir ranum.
Bibir lembut yang membuat aku ingin selalu berlama-lama melumatnya.
Lebih dari hal itu, aku sangat terpikat kepadanya. Perasaan suka sekali, sayang betul, dan nafsu berkobar-kobar bercampur menjadi satu.
Apabila berjauhan, hati berontak sebab risau dan rindu. Membuatku takenak makan dan tidur.
Dan aku pun merasa, ia memiliki emosi serupa. Kadang pikiran menanggapi secara berlebihan, jangan-jangan ia ingin selalu bersamaku?
Seminggu bersamanya menempati pondok mungil terpencil di tengah kebun asri terasa cuma beberapa jam. Waktu yang sejatinya lama akan terasa sebentar bagiku.
Pada pagi yang rintik, ketika menyesap tiga perempat kopi hitam dari cangkir porselen berwarna putih, aku memandang siluet bidadari sedang mengolah nasi goreng kunyit kesukaanku.
Mendadak ada bagian paling rahasia dari tubuhku berdenyut tak tertahankan. Gelisah mengingat kebahagiaan ini segera berakhir.