Baru sedetik tegak, seorang pria parlente di depannya berbalik. Menganga. Sontak histeris seraya jari telunjuknya mengarah ke hidung laki-laki itu.
Sejenak keramaian menjadi hening.
Lalu semua orang yang tadinya tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, sekarang histeris secara bersamaan. Menghidupkan gelegar.
Burung-burung gereja bertengger di kabel listrik mendadak beterbangan. Pohon-pohon di sekitar terkejut, lalu meranting. Daun-daunnya luruh, melayang-layang, dan tergelimpang di daratan.
Tanpa komando. Tanpa aba-aba. Semua orang yang tadinya tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, kemudian menyerbu laki-laki malang.
Amarah menenagai kepalan tangan menggodam muka. Kaki-kaki penuh dendam mengayun ke selangkangan, menggunting lutut hingga membuatnya terjerembab.
Injakan, tendangan, pukulan kayu dan lemparan batu meretakkan tulang-tulang. Kulit terkelupas. Cairan hangat di wajah.
Dengan kekuatan terakhir ia bangkit, lintang pukang sampai desis dari belakang menghentikan.
Sebuah benda merobek betisnya. Memuncratkan cairan merah. Semula tidak menderita apa-apa. Dua detik kemudian terasa perih. Tenaganya hilang.
Badan ringkih bau tengik campuran peluh dan darah melenguh. Tumbang. Tersungkur dengan wajah lebih dulu menyentuh aspal.
Napas tersengal-sengal pertanda ia masih hidup, meski saat itu berharap nyawanya luruh. Lelah. Ia sudah lelah. Amat lelah.