Sampai lulus SMA sejatinya saya bukan penyuka asap rokok. Akan menyingkir bila ada yang mengisapnya, sekalipun ia ayah sendiri.
Ketika berada di lingkungan baru yang jauh dari orang tua dan saudara, dan belum banyak teman, membuat saya merasa kesepian. Terutama pada malam hari.
Maka sebelum pulang ke tempat kos dan setelah makan malam, saya membeli sebungkus rokok. Merek apa saja, yang penting ada filternya. Sempat mengira, rokok tidak berfilter akan berat diisap dan cocok bagi perokok kawakan.
Ternyata bagi pemula, rokok apa pun terasa berat, pahit, dan membuat terbatuk-batuk. Kendati tidak enak tetap saya bakar. Asap beredar di rongga mulut tidak masuk ke paru-paru karena menyakitkan.
Meskipun demikian, silinder putih itu merupakan satu-satunya hal yang bisa diajak berbicara dalam heningnya malam. Kemudian, tidak diketahui persis kapan mulainya, saya kemudian menjadi penyuka asap rokok.
Secara emosional rokok menjadi teman, di waktu sepi maupun di waktu bergaul dengan teman-teman yang kian banyak, dan celakanya umumnya perokok juga.
Hingga puluhan tahun kemudian saya menjadi pecandu yang sangat ingin berhenti merokok. Saya juga percaya, sebagian besar perokok ingin berhenti.
Tidak mudah menghentikan perasaan menyenangkan itu. Kesenangan berkat nikotin yang mengalir di dalam darah melalui paru-paru setelah mengisap rokok.
Tidak cukup membakar dengan satu lilitan tembakau, ada keinginan untuk menyulutnya lagi lebih banyak. Rasanya nikotin mempengaruhi suasana hati. Perasaan nyaman yang lalu mendorong seseorang untuk merokok dan merokok berbatang-batang.
Barangkali itu yang membuat pecandu sulit menghentikan kebiasaan merokok. Ada keengganan untuk menghentikan rasa nyaman tersebut.
Saya pernah berniat menghentikan kebiasaan merokok. Berhasil tidak lebih dari satu pekan. Dan itu terjadi berulang-ulang. Tomat, tobat tapi kumat!