Dengan itu saya mengajak seluruh karyawan bahu membahu menjadikan acara sukses tanpa kendala berarti.
Entah bagaimana ceritanya, tidak lama setelah itu semua karyawan tampak tambah semangat melayani tamu.
Syukurlah, malam itu pihak pemesan --pihak asosiasi-- merasa sangat puas dengan sajian, penampilan live music, jalannya acara, dan terutama pelayanan prima dari karyawan.
Bisa jadi gaya yang saya tunjukkan jauh dari filosofi kepemimpinan transformasional, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli.
Saya hanya menyingsingkan baju. Turun tangan bekerja sebagaimana karyawan lain. Menanggalkan perilaku bossy dengan mengabaikan kepentingan pribadi.
Ternyata gaya tersebut menginspirasi dan memotivasi karyawan agar lebih giat bekerja. Menuntaskan salah satu tujuan usaha kuliner, yaitu memberikan pelayanan terbaik bagi tamu.
Waktu itu belum zaman digital. Pengetahuan saya pun tidak mengatakan bahwa itu termasuk model pemimpin transformasional.
Meskipun baru menyentuh secuil pemahaman, mudah-mudahan pengalaman di atas masuk dalam definisi manajemen kepemimpinan transformasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H