Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senang Berjumpa Lagi, Anak Muda!

14 Desember 2023   08:08 Diperbarui: 14 Desember 2023   08:39 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Senang berjumpa lagi di sini, anak muda! Di tempat yang sangat mendamaikan."

Ujaran itu demi menyambut kedatangan anak muda yang memang aku suka sifat dan tindak tanduknya. Santun. Tutur katanya tertata. Berperilaku menghargai orang lebih tua.

Aku belum lama bertemu seorang anak muda di sebuah tempat nyata, setelah lama merasa dekat melalui pertemanan di dunia maya. Tepatnya, kenal pertama kali di FB. 

Kalian pasti tahu, orang dulu akrab dengan layanan jejaring sosial tersebut.

Kalau anak-anak muda biasanya, meski tidak semuanya, lebih suka berhahahihi melalui IG. Atau menduniakan gerakan konyol di TikTok. Atau menyampah dan menyumpah di Twitter, eh sekarang jadi X, ya?

Situs bikinan Mark Zuckerberg dan kawan-kawan telah menghubungkan teman lama yang tadinya tidak diketahui keberadaanya. 

Mempertautkan temannya teman yang baru diketemukan itu. Dan mempertalikan teman dari teman daripada teman kita.

Seperti jaring untuk menjala ikan berikut teman-temannya yang tersangkut.

Tinggal kita memilih, ikan yang ikut-ikutan mau diambil tidak? Tinggal memilih, teman dari teman dari temannya teman kita yang mengirim permintaan pertemanan, mau diterima atau tidak?

Nah, anak muda yang merupakan teman dari teman dari temannya teman aku terima permintaan pertemanannya.

Bermula dari saling like dan menanggapi status, hubungan di dunia maya itu pun makin akrab. Menyenangkan dengan pembicaraan yang terhubung. Nyambung, kata anak sekarang.

Anak muda ini memiliki akun segala medsos dan mengenalkannya kepadaku. Namun aku lebih nyaman bermain Instagram, yang kata anak-anak muda disebut: IG.

Anak muda itu pula yang mengajarkan cara bermain di IG, kendati aku masih demikian sulit memahami beberapa hal. Melalui IG pula aku banyak berbincang dengan anak muda itu, yang kemudian dilanjutkan dengan percakapan via WA.

Ia memang baik. Tidak tinggi hati. Tidak memperdulikan perbedaan zaman dan status. Santun.

Dan yang aku paling kagumi adalah cara berperilaku dan bertutur kepada orang yang lebih tua. Kata-katanya apik, tertata, terjaga, dan tidak berusaha memotong pembicaraan belum.

Anak muda itu pun tidak pernah ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Aku harus akui bahwa dalam beberapa hal tidak bisa seperti itu. Aku ingin selalu didengar. Sering menyela apa yang tidak dimufakati. Emosional pula.

Makanya, ada beberapa butiran kecil padat yang harus aku minum setiap pagi dan sore. Demikian agar darah tidak terlalu cepat mengalir ke atas dan menjebolkan otak.

Mungkin penyakit orang dengan banyak makan asam garam --malahan terlalu banyak garam, sehingga membuat saluran darah tambah kaku menyempit pula.

Anak muda itu dengan caranya menceritakan banyak hal menggembirakan, yang kemudian aku sadari kisah-kisah dalam ceritanya merupakan nasihat halus kepadaku.

Menganjurkan sekaligus melarang makan ini itu, rajin berolahraga meski hanya jalan kaki memutari kompleks, dan jangan banyak-banyak memikirkan negara tanpa terbawa perasaan.

Nah ini sulit. Memikirkan negara adalah membahas konstelasi politik, terutama menjelang pemilu yang sangat hiruk-pikuk, yang apabila berdebat tanpa sependapat akan menyebabkan uring-uringan.

Parahnya lagi, itu menghasilkan pertengkaran tidak perlu setelah debat kusir dengan tetangga atau sesama pengunjung warung kopi.

Anak muda itu tidak demikian. Ia mendengarkan dengan khidmat. Berkata-kata memukul tanpa menyinggung. Tanpa membuatku marah.

Kata-kata sejuknya membangunkan ku, bahwa tidak ada perlunya berkeras kepala tentang politik. Memang mereka, para petinggi yang berebut tahta maupun kekuasaan di atas sana, kelak akan mengubah nasib kita?

Aku kemudian meragukannya. Lebih baik nanti saja, pilihan ditentukan sebelum memasuki bilik pencoblosan.

Sekarang memikirkan, bagaimana memupuk bekal untuk di alam sangat mendamaikan. Kita tak pernah tahu, dapat panggilan nomor berapa ?

Pemahaman tersebut aku banyak dapatkan dari anak muda itu, ketika untuk pertama kalinya ia berkunjung ke kotaku. Ia mampir ke rumah dan banyak berbincang. Dalam kunjungannya, tak lupa membawa buah tangan dan banyak makanan.

Sampai-sampai istriku berbisik di telinga, "apa tidak terbalik? Mestinya kita sebagai tuan rumah yang menjamu."

Aku sempat malu hati. Namun hebatnya, anak muda itu tidak memperlihatkan kesan canggung dan merasa lebih tinggi karena membawa sesuatu.

"Ini untuk dinikmati bersama. Makanan ini merupakan produk khas yang sangat saya sukai."

Obrolan demi obrolan membuatku makin senang dengan perilaku anak muda itu. Aku tambah yakin, ia tidak ada pamrih di balik kebaikannya.

Sayangnya anak muda itu tidak mau bermalam. Ia pulang sore, karena besok pagi sekali ada pekerjaan penting yang memerlukan persiapan.

Baiklah. Pertemuan pertama hari itu sangat menyenangkan. Banyak hal baik yang aku petik sebagai pelajaran.

Persuaan di dunia nyata berlangsung pada tahun lalu. Dan berjumpa untuk kedua kalinya dalam keadaan yang sama sekali berbeda.

Belum lama anak muda itu datang dengan wajah kertas buram kosong belum terisi. Dalam diam membawaku meninggalkan rumah yang muram. Setelah semua usai, ia pergi terburu-buru mengusung kesedihan mendalam.

Sekarang aku berjumpa lagi dengan anak muda itu. Wajahnya tampak sangat bersih. Sumringah melihatku. Tersenyum sambil berjalan seolah melayang dengan gerakan anggun tapi cepat.

Aku menyambut dengan kedua tangan terbuka lebar, "senang berjumpa lagi di sini, anak muda! Di tempat yang sangat mendamaikan."

Anak muda itu tersenyum, "demikian pula saya."

"Tapi kenapa demikian cepat sampai di sini? Seperti belum saatnya?"

"Selesai mengantar bapak ke taman bahagia, segera saya kembali agar tidak perlu merasa pilu lama-lama."

"Lantas, kenapa?"

"Ya begitulah...!"

"Ya begitulah kenapa?'

"Mungkin akibat membenamkan pedal gas terlalu dalam atau berlaku ceroboh. Saya tidak bisa mengingat yang mana. Maka...."

"Sesuatu buruk terjadi?"

"Ya, begitulah....," anak muda itu nyengir kuda.

"Dasar anak muda...."

***

Biodata: 

  • Beredar di Kota Bogor. Bukan anak muda. Suka olahraga jalan kaki. Hhanya itu bisanya. Nulis tentang segala yang terpikir dan gak bikin pusing.
  • Foto diri sama dengan gambar profil di Kompasiana. Di atas. Perbesar saja biar jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun