Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Belajar Tulus dengan Pinjam Dulu Seratus

8 Desember 2023   14:05 Diperbarui: 12 Desember 2023   12:04 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pinjam dulu seratus. (Foto: dokumentasi pribadi)

Beberapa waktu lalu guyonan 'pinjam dulu seratus' sempat populer di kalangan warganet. Kini candaan pinjam dulu seratus mulai jarang terdengar.

Mendadak tiga hari lalu frasa pinjam dulu seratus terdengar lagi. Terucap jelas dan dalam arti senyatanya. 

Apa maksud?

Begini. Hampir setiap pagi saya jalan kaki. Mengelilingi kawasan permukiman. Keluar masuk gang menyusuri perkampungan. Menapaki undak-undakan turun ke dan naik dari bantaran kali.

Tujuannya agar tubuh bergerak, menguatkan kaki, bertemu orang-orang, healing biaya murah, dan menghabiskan umur. 

Lha kok cetusan paling ujung seperti putus asa begitu?

Saya percaya bahwa usia terbatas. Berapa perhinggaannya, itu rahasia yang tidak pernah dapat diduga.

Tugas saya adalah mengisi usia diberikan dengan melakukan kebaikan bagi diri, orang lain, makhluk hidup, dan semesta beserta isinya, sekalipun kesadaran itu datangnya terlambat.

Jadi usia tersisa saya bayarkan untuk kebaikan. Menghabiskan umur untuk melantaskan ihwal baik dan berguna.

Dalam kesibukan jalan pagi saya kerap menghampiri penjual makanan. Membeli dua tiga potong penganan harga seribuan.

Maksudnya tidak lain dan tidak bukan adalah berkontribusi sedikit demi memutar usaha skala mikro, seraya melepas penat dan berbincang dengan sang penjual.

Beberapa menjadi akrab dan akhirnya kenal hingga tahu tempat tinggal saya. Tiga hari lalu seorang pedagang mendatangi rumah. Berbicara cepat. Lantang. Meyakinkan.

"Bisa pinjam dulu seratus? Besok dikembalikan. Ada pesanan 10 bungkus nasi uduk."

Saya terkesima. Namun, kemudian memafhumi, pada waktu lalu seseorang yang tinggal tidak jauh darinya meminjam seratus ribu. Mungkin ia terinspirasi.

Sejurus kemudian saya ke kamar. Mengambil tas pinggang yang biasa saya bawa. Beruntung tersisa dua lembar kertas berwarna biru dan beberapa keping logam lima ratusan.

Besoknya, dua hari berikutnya, dan pada hari ketiga tiada kabar berita. Melewati rumahnya, lapak ibu itu tutup. 

Bukan bermaksud menagih atau bagaimana, tetapi jalan di depannya merupakan rute favorit. Pada satu kesempatan saya berhenti di depan kontrakannya. Istirahat.

"Orangnya pulang kampung. Gak tau baliknya kapan," ujar pengontrak sebelah.

Saya pun segera meninggalkan deretan rumah petakan tersebut. Risau. Sempat terbersit pikiran, kapan ya pinjaman dikembalikan? Kendati jumlahnya tidak seberapa, rasa penasaran menyelundup.

Saya bukan peternak uang. Tidak pernah membawa banyak uang di dalam tas pinggang. Toh sesekali jajan, makan lotek, atau menyeruput kopi pahit.

Pembelanjaan lebih terjadi sebulan sekali, berbarengan dengan jadwal pemeriksaan rutin. Membeli vitamin tidak ditanggung BPJS untuk konsumsi sebulan.

Saya segera menepis rasa penasaran agar tidak berkembang menjadi dugaan buruk, lantas menimang-nimang beberapa tinjauan:

Pertama. Betapa saya mudah terbuai dengan cerita kepentingan orang lain yang sangat mendesak.

Kedua. Tidak bisa berlaku tegas. Beda tipis dengan tidak tegaan. 

Dengan nilai berbeda, peristiwa 'pinjam dulu seratus' tidaklah terjadi sekali. Sewaktu masih aktif, teman atau kenalan meminjam tanpa pernah kembali. Atau kalau meminjam, pengembaliannya melampaui batas waktu dijanjikan.

Ketiga. Memang ada orang yang mengalami keadaan sulit, tetapi beberapa kali cara mengutarakannya kurang tepat.

Kemungkinan keempat barangkali tidak mudah dicerna. Di masa lalu, disadari atau tidak, saya pernah berbuat aniaya mengambil hak orang lain. Maka kini semesta "menagihnya" kembali. 

Bagaimana perhitungannya? Itu saya tidak pernah memahami.

Kelima. Bisa jadi saya kurang bersedekah. Melalui cara pinjam dulu seratus, Sang Maha Pemberi Rezeki memberikan peringatan. Saya percaya itu.

Akhirnya, 'pinjam dulu seratus' bukan lagi guyonan, tetapi sebuah teguran keras.

Bagi saya, peristiwa pinjam dulu seratus memberikan makna agar berlaku tulus. Mengikhlaskan apabila uang seratus ribu rupiah tidak kembali.

Doa saya, moga-moga ibu pelapak skala mikro itu itu diringankan dari kesulitan. Dimudahkan dalam mencari rezeki. Dilimpahkan kesehatan lahir batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun