Tahun lalu mereka tidak sukses mengelola usaha kuliner, sekarang membuka usaha baru yang berbeda. Akankah bisa lebih berhasil dari usaha sebelumnya?
Suami istri itu sangat bersemangat membangun gerai kopi dan kudapan di rumahnya. Satu ruangan dirombak dan dibangun bagus untuk menyesuaikan dengan konsep tempat ngopi kekinian.
Dengan serius menyiapkan meja dapur stainless steel, peralatan kopi, meja kursi service, dan perlengkapan lainnya. Saya kira butuh investasi tidak sedikit.
Dalam perjalanan, mereka juga menyewa satu lapak di food court tidak jauh dari rumah mereka. Sewa bulanan dengan konter dan merekrut satu pegawai untuk melayani penjualan nasi soto .
Dua usaha kuliner itu berjalan taklebih dari satu bulan. Tutup untuk selamanya.
Baca kisahnya: Jangan Sampai Baru Buka Bisnis Kuliner, Besoknya Tutup (tautan).
Saya kira dari soal perencanaan sampai pelaksanaan telah dipikirkan matang-matang.
Istrinya lulusan Sekolah Tinggi Perhotelan terkemuka, berpengalaman kerja sebagai pegawai perusahaan bidang hospitality. Suaminya mahir meracik kopi bercitarasa bagus.
Bermodal kemampuan cukup dan kekuatan dana memadai, mereka merealisasikan konsep usaha yang sudah ada di dalam kepala.
Membangun tempat dengan perlengkapan layak. Menyajikan produk secara cermat dengan harga bersahabat.
Lokasi kafe tidak jelek-jelek amat. Berada di permukiman dekat dengan perkantoran.
Jalan di depan hidup, artinya dilintasi orang dan kendaraan sampai petang. Pukul 10 malam barulah portal ditutup.
Beberapa kali saya pernah mencoba racikan kopinya. Enak. Satu yang saya suka adalah kopi cold brew. Nasi goreng telur ceploknya oke. Kualitas hotel. Harga kaki lima.
Untuk memudahkan pembayaran dan pengiriman, mereka bekerja sama dengan satu perusahaan aplikasi kurir daring.
Usaha kuliner satu lagi terletak tidak jauh dari rumahnya. Menyewa secara bulanan di sebuah food court yang terletak di dalam kompleks perkantoran.Â
Pasarnya jelas, yaitu pegawai kantor dan masyarakat umum.
Lapak kecil menjual soto dan dilayani oleh satu pegawai yang khusus direkrut untuk itu.Â
Dua usaha kuliner tersebut tidak berjalan sesuai rencana. Dengan alasan sepi pengunjung dan tidak cukup tenaga untuk mengelola dua bisnis tersebut, maka dalam waktu kurang sebulan tutup.
Kenapa tidak mampu bertahan lama?
Pertama, ekspektasi jumlah pembeli tidak sesuai dengan yang mereka pernah rencanakan. Kadang ada pembeli, seringnya sepi.
Mungkin saja mereka berharap pembeli berdatangan setiap hari. Padahal namanya usaha baru ya perlu upaya intens untuk menyedot pengunjung.
Kedua, tidak mampu mengelola waktu dan tenaga. Kedodoran dalam manajemen. Secara fisik mereka keteteran menyiapkan isi dan menunggu warung dari pagi hingga petang.
Ketiga, atau alasan yang menjadi kesimpulan sementara dalam artikel sebelumnya adalah, pengelola tidak cukup ulet menjalankan bisnis kuliner. Apalagi usaha baru yang penuh tantangan.
Saat itu pikiran jelek sempat melintas di kepala saya: jangan-jangan mereka cuma senang membangun tempat usaha, tetapi tidak dalam menjalankannya.
***
Belum lama mereka merenovasi satu ruangan di bagian berbeda. Merombak satu kamar kosong, yaitu:
- Melapis lantai dengan parquet motif kayu.
- Mengecat ulang dinding dengan warna pastel dan satu dinding dihiasi wood panel.
- Mengganti langit-langit dengan plafon PVC.
- Menambahkan mesin pengatur suhu udara.
- Mengganti daun pintu dengan sistem kunci digital.
- Mempercantik bagian luar dari kamar.
Rupa-rupanya mereka mendapatkan dua ranjang terapi buatan Korea Selatan, yang sempat populer pada tahun 2000-an, dari kerabatnya. Tidak terinformasi bagaimana aturan mainnya.
Di satu ranjang terdapat batu giok, secara otomatis memijat punggung/tulang belakang seseorang yang berbaring di atasnya. Sementara sinar inframerah akan menghangatkan.Â
Satunya lagi adalah penghangat punggung saja.
Dengan alat-alat itu mereka hendak membuka usaha terapi, mereka namakan Rumah Fisioterapi.
Tidak memerlukan keahlian khusus. Operator cukup memahami cara pengoperasian alat.
Biaya jasa yang ditawarkan pun, menurut saya, murah. Rp15.000 untuk sesi pemijatan 40 menit. Mestinya bisa menarik perhatian mereka yang memerlukan terapi atau pemijatan alternatif dengan harga terjangkau.
Saya baru sekali mencoba pada hari pertama pembukaan. Terasa enak di punggung, sampai-sampai sempat tertidur di tengah sesi pemijatan.
Mudah-mudahan usaha baru itu berkelanjutan.
Tidak sebagaimana yang pernah saya pikirkan: mereka hanya senang membangun tempat usaha, tetapi tidak suka menjalankannya dengan tekun.
Atau, bernafsu besar bikin usaha, tenaga kurang dalam mengelolanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI