Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Kelompok Kemiskinan Ekstrem, tapi Hidupnya Tak Mudah

28 November 2023   08:19 Diperbarui: 28 November 2023   08:44 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tempat tinggal sekaligus lapak usaha 3X3,5 m2 (dokumen pribadi)

Ibu paruh baya dan anak lelakinya itu tinggal di ruangan berukuran kira-kira 3 X 3,5 meter persegi. Mengontrak Rp500 ribu per bulan.

Ah, sebetulnya bukan "ruangan" serupa rumah petakan atau kamar kos. Bukan.

Ia merupakan bagian teras rumah berbentuk L dengan lebar bagian depan sekitar 3 meter. Hunian kosong yang hendak dijual, tetapi tidak laku-laku. Ditawarkan untuk dirental, tidak ada peminat juga.

Daripada terlantar, pemilik rumah akhirnya menyewakan sebagian. Tentu dengan harga murah.

Ruangan itu merupakan teras. Di belakang adalah dinding triplek yang menutupi bagian muka rumah. Kiri kanan adalah tembok pembatas dengan rumah tetangga. Di depan berdiri pagar besi kupu-kupu.

Bagian menghadap jalan kemudian dimanfaatkan oleh penyewa sebagai lapak. Menjual gorengan dan penganan populer lainnya.

Sedikit ke belakang terletak kompor dan peralatan masak. Ke belakang lagi terdapat kulkas, rak, kipas angin, dan kasur menggeletak di lantai yang dibatasi tirai.

Tempat usaha sekaligus hunian dengan kondisi terbatas.

Dinginnya malam hanya ditutup dengan tirai kain dan selimut. Jika matahari sudah ke peraduan, pagar besi ditutup dengan karpet. Menghalangi pandangan. Tidak angin malam.

Tersedia listrik di kontrakan tersebut. Ada lampu. Ada energi untuk menggerakkan mesin lemari pendingin dan mengisi baterai telepon genggam.

Bagaimana dengan air? Bagaimana dengan rutinitas membersihkan diri dan keperluan membuang hajat?

Mereka menggunakan kamar mandi/toilet umum yang berada di perkampungan jauh ke belakang.

Kalau malam-malam dingin mendadak kebelet pipis? Entahlah. Saya tidak sanggup menanyakannya.

Sedikit banyak muncul perasaan sentimental. Terpengaruh keadaan yang dihadapi oleh ibu dan anak tersebut.

Menganggap bahwa kehidupan mereka tidak mudah. Saya tidak bilang sulit, karena pada kenyataannya orang tua tunggal yang ditinggal mati oleh suaminya itu punya usaha, kendati berskala mikro.

Mereka pun tidak termasuk dalam kategori kelompok mengalami kemiskinan ekstrem.

Mungkin tidak termasuk dalam definisi United Nations 1996, bahwa kemiskinan ekstrem meliputi keadaan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti:

  • Makanan.
  • Air minum bersih.
  • Sanitasi layak.
  • Kesehatan.
  • Tempat tinggal.
  • Pendidikan, dan
  • Akses informasi.

Mereka bisa makan, minum, cukup sehat, bisa menyewa tempat tinggal meski terbatas fasilitas. Anaknya bersekolah kelas 3 SD, kendati untuk pembiayaan dibantu oleh pihak mesjid setempat.

Dan pada kenyataannya mereka memiliki telepon genggam, untuk komunikasi dan sebagai sarana hiburan. Mungkin untuk mendapatkan informasi.

Saya mengetahui, penjual gorengan tersebut tidak dihitung sebagai penerima bansos. Tidak dicatat sebagai peserta program keluarga harapan (PKH).

RT atau RW setempat mendahulukan kerabatnya. Sebuah dugaan yang tidak sempat saya verifikasi kebenarannya. Keterangan itu santer terdengar dalam pembicaraan antar warga.

Saya tidak urun rembuk atau melakukan satu upaya, agar kemiskinan ekstrem turun. Tidak. Saya tidak punya kapasitas untuk itu.

Saya hanya melakukan langkah kecil. Upaya sederhana, yang sekiranya dapat membantu kehidupan tidak mudah (menurut saya) ibu dan anak tinggal di ruang sempit, tetapi mau melakukan usaha.

Langkah sederhana yang mampu saya lakukan adalah membeli produk dijual, meski nilainya amatlah kecil.

Beberapa kali saya menyantap gorengan, lontong bumbu (potongan rice cake dengan saus kacang diulek), lontong sayur.

Tempo lalu makan 2 potong tempe goreng @ seribu perak. Seribu dua ribu, yang penting jajan. Kemarin saya membayar Rp5 ribu untuk sepiring lontong sayur.

Sepiring lontong sayur Rp5 ribu (dokumen pribadi)
Sepiring lontong sayur Rp5 ribu (dokumen pribadi)

Catatan: gorengan dan karbohidrat merupakan pantangan bagi saya. Lupakan sejenak nasihat dokter.

Keuntungan seribu dua ribu rupiah sangat berharga bagi mereka yang hidupnya tidak mudah, kendati tidak termasuk dalam kemiskinan ekstrem.

Punya cara lain membantu mereka yang berada dalam keadaan serupa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun