Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Hadapi Rintangan dan Tantangan

26 Oktober 2023   06:09 Diperbarui: 26 Oktober 2023   06:30 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karung goni berjajar jadi jalan darurat melintasi Sungai Ciliwung (dokumen pribadi)

Ujung dari gang berkelok adalah pemandangan menggetarkan. Sungai Ciliwung dengan batu-batu di antara airnya yang surut berwarna kehijauan.

Tanah dipapas membentuk tangga turun. Kendati cukup curam, menapaki trap menurun bukan masalah besar bagi saya.

Melintang pada bagian sungai Ciliwung kantong-kantong berwarna putih. Karung berisi pasir disusun menjadi penghubung darurat.

Jalur alternatif dari satu daratan ke daratan lainnya bagi pejalan kaki, sementara jembatan sesungguhnya sedang direnovasi. Jembatan Otista merupakan salah satu jalur masuk ke Kota Bogor, dari gerbang tol Jagorawi eksit Baranangsiang.

Baca juga: Beringin Angker

Jembatan tersebut dibangun tahun 1920 dan pernah dilebarkan pada 1970. Kini, dengan anggaran Rp52,6 miliar, jembatan Otista dilebarkan dari 15 meter menjadi 22 meter (sumber).

Sampai dengan rencana penyelesaian pada akhir tahun 2023, jembatan tidak bisa dilewati umum. Termasuk pejalan kaki.

Karena itu warga setempat menyusun karung-karung berisi pasir pada bagian sungai yang relatif datar dan tidak dalam. Sebuah jalur darurat menghubungkan kawasan sekitar jalan Bangka dan Tugu Kujang dengan Pasar Bogor.

Saya melangkah penuh konsentrasi memerhatikan ke mana kaki menginjak. Berbeda dengan orang normal, saya harus ekstra hati-hati dalam melangkah.

Kalau ingin menikmati pemandangan, ya berhenti. Diam sejenak demi melihat hijaunya air tengah sungai. Melihat konstruksi jembatan Otista di kejauhan.

Jembatan Otista dengan struktur lengkung (dokumen pribadi)
Jembatan Otista dengan struktur lengkung (dokumen pribadi)

Perjalanan berlanjut perlahan sampai akhir tumpukan karung. Ada satu persoalan besar!

Tangga naik lebih curam daripada sebelumnya. Batu undak-undakan amatlah terjal. Tingginya berkisar antara 30-40 sentimeter. Merepotkan bagi saya. Semestinya jarak ideal antar anak tangga adalah 15-19 cm agar kaki nyaman melangkah.

Muncul keraguan, bisakah saya melewatinya?

Dengan segala tekad, kaki menjejak anak tangga. Syukurlah, orang-orang baik mendorong dari belakang agar saya tidak terjengkang. Seorang pria lain di atas menarik satu tangan saya.

Hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan ketika tiba dengan selamat. Peluh bercucuran campur keringat dingin. Saya berhenti di satu pojok. Minum dan mengambil napas.

Seseorang yang saya kenal muncul dari bangunan kecil, "Sugeng, ya?"

Setelah saya membuka masker, barulah ia mengenali, "itu kenapa, mas?"

"Biasa. Akibat sering marah-marah. Emosian. Ngamukan. Dulu."

Sugeng (bukan nama sebenarnya) adalah pemborong. Sempat bergabung dengan teman-teman dan saya, membentuk grup untuk melayani sejumlah pekerjaan skala kecil di Istana Kepresidenan Bogor.

Namun ia dikeluarkan dari kelompok usaha, berhubung ketahuan melakukan kecurangan. Kredibilitasnya menjadi buruk di kalangan pemborong lokal.

Dengar-dengar, setelahnya ia terjerat utang kepada seorang kawannya. Bagaimana nasib pinjamannya? Saya tidak terinformasi tentang hal itu.

Sekarang Sugeng menjalankan usaha WC Umum berbayar. Tempat kecil yang dikelola merupakan lahan milik keluarganya. Dibangun bilik-bilik kecil untuk toilet. Ada 4 ruang, kalau tidak salah.

Entah karena malu atau bagaimana, Sugeng mengeluhkan kondisi sekarang yang bumi dengan langit dibanding keadaan zaman kejayaan waktu itu. Ia merasa terpuruk.

Saya teringat perjalanan menyeberangi sungai Ciliwung baru saja. Jika tidak ada tekad dan tidak ada orang mendorong atau menarik, barangkali saya masih terdampar di bawah sana. Terpuruk.

Meskipun tidak setara (on par), memasuki gang lalu turun ke sungai menyeberanginya kemudian naik Kembali di sisi lain, ibarat perjalanan kehidupan.

Satu ketika di atas. Berjaya menikmati keistimewaan. Ada saatnya terpuruk menghadapi tantangan yang sepertinya tidak bertepi. Bangkit mencapai kesetimbangan mesti merangkak. Penuh penderitaan.

Lantas, saya hanya bisa menyampaikan ini kepada Sugeng:

  • Minta maaf kepada mereka yang pernah tersakiti.
  • Lupakan masalah masa lalu. Melangkah ke depan dengan amanah dan jujur.
  • Mungkin keadaan sekarang tidak bisa kembali seperti dulu, tetapi bisa saja lebih berkah. Jadi tidak perlu disesali.
  • Bersyukur sekarang masih bisa menghidupi keluarga, kendati tidak secemerlang pada masa lampau.
  • Nikmati hal-hal baik dan positif dari pekerjaan dan kehidupan sekarang.
  • Bisa jadi tantangan belum berakhir, tekuni pekerjaan atau usaha yang ada. Siapa tahu kelak ada tangga (kesempatan) naik, betapa pun curamnya.

Setelah rasa lelah lenyap, saya berpamitan ke Sugeng dan meneruskan perjalanan ke Pasar Bogor.

Tidak hanya Sugeng, saya juga pernah mengalami beberapa kali keterpurukan. Apabila memelihara kesedihan, bisa-bisa muncul keputusasaan. Saya tidak mau demikian, karena hidup harus berlanjut.

Saya percaya, hidup adalah perjalanan naik turun penuh tantangan dan rintangan (disebut sebagai masalah). Dan masalah senantiasa hadir selama manusia diberi napas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun