Tak lama. Di hadapan tersaji semangkuk soto. Kuahnya jernih, bening berwarna sedikit kuning berkat kunyit.
Chicken clear soup itu berisi soun, daun kubis rajang, irisan tomat, daun bawang dan seledri iris, suwiran ayam goreng, serta taburan bawang goreng. Ke dalamnya saya tambahkan perasan jeruk nipis dan sedikit sambal.
Akhir-akhir ini jika menghirup kuah terlampau pedas, saya akan tersedak. Terbatuk-batuk seperti ada yang mengiritasi kerongkongan, membuat bersin hingga mengeluarkan air mata.
Demi kenyamanan, maka saya menambahkan hanya sepertiga sendok teh sambal encer. Pokoknya ada rasa cabai, kendati samar-samar
Kuah terasa ringan. Saya duga bumbunya simpel: bawang putih, kunyit, serai, merica, jahe, mungkin juga ditambah daun jeruk purut.
Bumbu sederhana yang menguatkan rasa gurih kaldu ayam. Akan lebih mantap bila menggunakan ayam kampung.
Saya memperkirakan soto menggunakan ayam jantan. Atau ayam petelur yang sudah tidak produktif. Suwiran dagingnya tidak mudah hancur seperti daging ayam negeri (broiler). Pun tidak tercium bau amis.
Secara keseluruhan, soto ayam di kantin tersebut terasa enak. Buktinya? Mangkuk licin tandas hingga tetes kuah terakhir.
Selesai makan saya berpikir, rasa-rasanya mirip soto Semarang. Ciri-cirinya serupa. Bening, gurih, dan tidak terlalu berminyak.
Satu lagi, kuah tercecap agak manis. Tidak seperti soto Jawa Timur yang hanya terasa gurih (kecuali soto bersantan atau ditambah kecap manis).
Penasaran saya bertanya ke bapak pemilik kantin, benarkah tebakan saya bahwa soto tersebut gaya Semarang.