Umumnya tempat makan di sekitar kampus menawarkan harga makanan yang ramah bagi kantong para mahasiswa.
Kendati tidak mencirikan warung makan, satu warung ini menawarkan harga menu lebih murah dibandingkan warung makan sejenis. Berapa bedanya, saya sulit mengingat hal detail di tahun 1984 atau 1985.
Namun saya tidak bisa melupakan satu tempat dekat kampus, yang menjual makanan lebih murah dari warung lainnya.
Sebetulnya tempat tersebut kurang tepat disebut warung makan. Ia adalah dapur dari sebuah rumah warga di dekat kampus di Dago Atas, Bandung.
Ukuran ruang kegiatan memasak itu cukup luas sehingga dapat menampung meja makan dengan kursi, selain kompor, lemari, kulkas, dan tempat penyimpanan peralatan masak atau makan.
Dari tampilan luar tidak terlihat ciri warung makan seperti umumnya. Apalagi adanya makanan dipajang dan papan nama.
Saya mengetahui bahwa dapat membeli makanan di rumah tersebut berkat seorang teman.
Pada satu hari seorang sahabat beda fakultas mengajak makan siang di dekat kampusnya. Masuk dari belakang satu rumah langsung menuju dapur.
Kepada seseorang di sana ia minta dibuatkan dua telur dadar, untuknya dan saya. Nasi putih ambil sendiri di dandang. Menyendok sup dari panci.
Jangan bayangkan di dalam kuah itu ada potongan daging atau ayam. Isinya kacang merah serta potongan wortel, kentang, buncis, kubis, daun bawang, dan seledri.
Menyantap nasi telur dadar hangat bersama kuah dan sambal rasanya sangat nikmat. Perut keroncongan membuatnya enak.
Di warung berjasa, tepatnya di dapur, itu tidak tersedia macam-macam hidangan. Pilihan lauknya hanya telur dadar atau ceplok. Sayurnya sup, kadang-kadang lodeh, ditambah sambal.Â
Itu saja. Tidak ada pilihan lain.
Dapur tersebut menjadi tujuan karena harganya jauh lebih murah daripada harga makanan di warung nasi yang dikelola untuk maksud mencari laba.
Harga dikenakan merupakan pengganti bahan, minyak tanah, bumbu, dan tenaga yang memasak. Ditambah sedikit keuntungan, saya kira.
Pembayaran pun bisa nanti, seandainya kiriman wesel (surat pos yang bisa ditukar dengan uang) dari kampung belum tiba.
Bisa jadi pemilik rumah ingin menolong mahasiswa berkantong tipis, ketimbang menjual makanan semata-mata demi mencari keuntungan.
Mungkin ia sangat mengerti isi dompet mahasiswa yang kerap kosong menunggu kiriman, tetapi kebutuhan mengisi perut tidak bisa dinanti-nanti.
Dapur luas tersebut telah menjadi penolong bagi banyak mahasiswa di sekitarnya.
Mereka yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi terjamin perutnya, kendati kondisi keuangan pada saat-saat tertentu tidak memungkinkan untuk membeli nasi, lauk, dan sayur.Â
Berkat adanya penjual makanan dengan harga ramah dekat kampus.
Meskipun bukan warung dalam arti sesungguhnya, dapur rumah tinggal itu warung berjasa. Menyediakan makanan sederhana dan sehat bagi mahasiswa, yang dapat ditukar dengan uang sepantasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H