Menyantap nasi telur dadar hangat bersama kuah dan sambal rasanya sangat nikmat. Perut keroncongan membuatnya enak.
Di warung berjasa, tepatnya di dapur, itu tidak tersedia macam-macam hidangan. Pilihan lauknya hanya telur dadar atau ceplok. Sayurnya sup, kadang-kadang lodeh, ditambah sambal.Â
Itu saja. Tidak ada pilihan lain.
Dapur tersebut menjadi tujuan karena harganya jauh lebih murah daripada harga makanan di warung nasi yang dikelola untuk maksud mencari laba.
Harga dikenakan merupakan pengganti bahan, minyak tanah, bumbu, dan tenaga yang memasak. Ditambah sedikit keuntungan, saya kira.
Pembayaran pun bisa nanti, seandainya kiriman wesel (surat pos yang bisa ditukar dengan uang) dari kampung belum tiba.
Bisa jadi pemilik rumah ingin menolong mahasiswa berkantong tipis, ketimbang menjual makanan semata-mata demi mencari keuntungan.
Mungkin ia sangat mengerti isi dompet mahasiswa yang kerap kosong menunggu kiriman, tetapi kebutuhan mengisi perut tidak bisa dinanti-nanti.
Dapur luas tersebut telah menjadi penolong bagi banyak mahasiswa di sekitarnya.
Mereka yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi terjamin perutnya, kendati kondisi keuangan pada saat-saat tertentu tidak memungkinkan untuk membeli nasi, lauk, dan sayur.Â