Kemudian terinformasi bahwa dua kali pencalonan, sang kawan gagal merealisasikan mimpi menjadi anggota dewan terhormat.
Dalam penuturannya ia mengaku mencalonkan diri dengan biaya "irit". Tak lebih dari Rp50 juta. Selebihnya mengandalkan kekuatan pertemanan.
Sang kawan lahir dan besar di Kota Bogor. Pria itu fasih berbahasa Sunda, kendati orangtuanya Sumatera Utara asli.
Teman-teman SD, SMP, dan SMA di Kota Bogor adalah potensi suara. Apalagi ia sempat bersekolah di 3 SMA berbeda di kota sama , karena terpaksa dipindahkan. Maka ia rajin mengikuti acara-acara reuni dan kumpulan teman-teman sekolah.
Biaya pencalonan irit dan pertemanan luas gagal mengantarnya ke gedung DPRD yang dingin dan angkuh. Dua kali berturut-turut.
Konon, dibutuhkan sekurang-kurangnya Rp300 juta untuk biaya pencalegan. Juga faktor ketokohan atau kontribusi seseorang kepada dapil.
Untuk itu perlu aksi riil dalam jangka waktu panjang. Atau memasang alat promosi diri dan program nyata secara intensif. Itu butuh ongkos.
Jadi tidak mengherankan, nama sang kawan tidak terpilih dalam daftar anggota legislatif.
Sentakan wanita sebaya di hadapan mengagetkan, "Eh, ngalamun. Mikirin apa sih?"
Kembali wanita caleg DPRD itu bertanya penuh harap, apakah saya punya kenalan di Kedung Waringin.
Setelah terdiam sejenak, saya pun menjawab, "tidak. Tidak satu pun."