Sementara makan nasi uduk, seorang pelanggan warung Emak bertanya kepada saya.
"Punya saudara atau kenalan di daerah Kedung Waringin?"
Kelurahan tersebut berada di kecamatan berbeda dengan wilayah tempat saya tinggal.
"Untuk apa?"
Wanita berambut agak pirang bergelombang dengan wajah indo itu mengaku, ia memerlukan referral dalam rangka sosialisasi program politik di daerah tersebut.
Sebagai caleg DPRD Kota Bogor dari partai tertentu, katanya, ia perlu memperkenalkan diri dan program diusung kepada masyarakat di daerah pemilihan (dapil).
Wanita tersebut aslinya berprofesi sebagai jurnalis sebuah media online. Kemudian saya mengetahui bahwa wanita itu merupakan teman seangkatan beda jurusan waktu SMA. Andai dulu... Ah, sudahlah!
Sembari memandang mata dan menyimak tarian bibir merahnya, pikiran liar berkelana ke masa silam.
Mendekati 2014 dan 2019 saya ikut dalam kegiatan sosialisasi, yang dilakukan seorang kawan dalam rangka perolehan kursi empuk di DPRD.
Saya hanya ikut sampai kegiatan sosialisasi. Tidak terlibat dalam kampanye dan proses selanjutnya. Gak ada duitnya!
Kemudian terinformasi bahwa dua kali pencalonan, sang kawan gagal merealisasikan mimpi menjadi anggota dewan terhormat.
Dalam penuturannya ia mengaku mencalonkan diri dengan biaya "irit". Tak lebih dari Rp50 juta. Selebihnya mengandalkan kekuatan pertemanan.
Sang kawan lahir dan besar di Kota Bogor. Pria itu fasih berbahasa Sunda, kendati orangtuanya Sumatera Utara asli.
Teman-teman SD, SMP, dan SMA di Kota Bogor adalah potensi suara. Apalagi ia sempat bersekolah di 3 SMA berbeda di kota sama , karena terpaksa dipindahkan. Maka ia rajin mengikuti acara-acara reuni dan kumpulan teman-teman sekolah.
Biaya pencalonan irit dan pertemanan luas gagal mengantarnya ke gedung DPRD yang dingin dan angkuh. Dua kali berturut-turut.
Konon, dibutuhkan sekurang-kurangnya Rp300 juta untuk biaya pencalegan. Juga faktor ketokohan atau kontribusi seseorang kepada dapil.
Untuk itu perlu aksi riil dalam jangka waktu panjang. Atau memasang alat promosi diri dan program nyata secara intensif. Itu butuh ongkos.
Jadi tidak mengherankan, nama sang kawan tidak terpilih dalam daftar anggota legislatif.
Sentakan wanita sebaya di hadapan mengagetkan, "Eh, ngalamun. Mikirin apa sih?"
Kembali wanita caleg DPRD itu bertanya penuh harap, apakah saya punya kenalan di Kedung Waringin.
Setelah terdiam sejenak, saya pun menjawab, "tidak. Tidak satu pun."
Demi menebus rasa tidak enak karena tidak punya referral, saya menyampaikan satu informasi penting sehubungan dengan profesinya sebagai wartawan.
Di jalan raya dekat rumah sedang ada proyek pembuatan pedestarian. Sudah dibuat bedeng, meski ukurannya di bawah ketentuan. Ada papan peringatan. Para pekerja menggunakan alat pelindung diri (APD: helm, sepatu).
Meskipun demikian belum terlihat adanya papan nama dan gambar kerja pada dinding bedeng. Itu mengingkari asas keterbukaan informasi.
Papan nama mencantumkan: kontraktor pelaksana, pemberi kerja, konsultan pengawas, jangka waktu, sumber pembiayaan, dan nilai kontrak.
Gambar kerja memberikan informasi mengenai struktur bangunan, bahan digunakan, ketebalan, dan lainnya.
Bibir merah menganga, "kok ngerti?"
"Sebelum sakit begini, saya pemborong. Biasa bekerja sama dengan Pemda Kabupaten."
"O, pantesan.'
"Tanpa papan nama, proyek di kabupaten jadi ladang duit bagi sementara wartawan."
Wajah wanita bergaun merah sontak cerah. Mengucapkan terima kasih. Membayar harga makanan. Lalu bergegas menuju lokasi proyek pedestarian.
Semoga sukes dengan pencalegan yang sedikit banyak memerlukan ongkos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H