Untuk ketiga kalinya mengunjungi warung yang sama. Sabtu pekan lalu saya menuju penjual makanan dekat Taman Air Mancur, Kota Bogor.
Di kepala langsung muncul pilihan: Rujak Cingur. Makan Tahu Campur, sudah. Santap Tahu Telur, juga sudah.Â
Tidak banyak cerita tentang rujak cingur, rasa-rasanya saya pernah mengisahkannya entah di artikel mana.
Sebagai gambaran sekilas, pada sepiring rujak cingur berisi: lontong, sayur matang (kangkung, tauge), kerupuk, irisan mentimun, bengkuang, mangga muda, nanas, tempe tahu goreng. Terakhir merupakan "jagoannya", yaitu cingur. Bumbu atau sausnya adalah petis.
Urutan penjelasan di atas juga merepresentasikan gaya saya menyantapnya. Terlebih dahulu menyendok sayur dan lontong, lalu berturut-turut buah-buahan, tempe, dan tahu. Terakhir -- ini merupakan perayaan sesungguhnya -- menyantap dan mengunyah sayatan cingur dengan nikmat.
Warung makan Pakde Kan adalah penjual makanan khas Jawa Timur. Sang pemilik mengaku berasal dari Surabaya.
Rasa rujak cingur versi Surabaya atau Malang cenderung manis, berasal dari petis udang yang mendominasi saus.
Berbeda dengan rujak cingur di Bangkalan Madura. Sausnya terbuat dari petis ikan dengan rasa asin gurih. Warnanya pun lebih cerah, cokelat muda.
Rujak cingur berbeda warna dan rasa antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan wujud dan rasa yang merupakan kekayaan kuliner Nusantara.
Syahdan, pulang dari berwisata di Pulau Dewata saya mengajak teman-teman mampir ke Pulau Madura.
Tahun 1985 jembatan Suramadu belum ada, sehingga kami naik feri dari Pelabuhan Tanjung Perak ke Pelabuhan Kamal.
Selanjutnya jalan darat naik Colt T-120 yang melaju kencang sepanjang 17 km. Sopir angkutan umum itu mengabaikan bunyi peringatan kecepatan di spidometer.
Tiba di alun-alun Kabupaten Bangkalan menjelang petang. Seraya tersenyum simpul saya mengingatkan agar teman-teman menjaga leher masing-masing.
Serentak mereka celingukan dengan muka pucat, membayangkan clurit yang sekali tebas membuat kepala seseorang terpisah dari badan. Saya kira itu satu khayal berlebihan.
Tiba di rumah paman, semuanya membersihkan diri. Pemilik rumah mentraktir santapan malam di gerai sate Mak Cenneng di depan bioskop Purnama.
Besoknya saya mengajak mereka makan rujak. Serentak tiga teman mengangguk.
Menurut mereka, satu tawaran bagus di hawa siang yang panas menyergap. Udara Bangkalan lebih kering dan gerah. Berbeda dengan Bandung.
Setelah membuat bumbu, penjual di satu sudut jalan itu mulai mengiris mangga muda, kedondong, bengkuang, mentimun. Memasukkan sejumput sayur matang, potongan tempe tahu goreng dan cingur. Lalu mengaduk rata.
Wajah teman-teman tercengang tanpa bisa berkata-kata.
Penjual membelah sepi dengan berkata lantang khas orang Madura, "nekah ngangguy topak apah nase?" (Ini pakai ketupat atau nasi?)
Sejurus mereka saling berpandangan. Satu teman protes, "kok rujak pakai ada sayur, tempe tahu, dan daging? Pakai nasi pula?"
Tepok jidat! Saya lupa menuturkan, di sini rujak cingur adalah semacam main course. Cocok untuk makan berat.
Baru sadar bahwa definisi rujak versi saya berbeda dengan rujak dalam pikiran mereka, yang lahir dan besar di sejuknya Kota Kembang.
Bagi teman-teman, rujak adalah irisan berbagai buah dengan bumbu dari gula merah, yang diulek bersama kacang, cabai, dan air asam.
Tak lama kemudian saya menyaksikan wajah-wajah yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Mereka berusaha menghabiskan menu kuliner khas Jawa Timur itu.
Misleading! Saya membawa pemahaman keliru akibat tidak lengkap dalam menuturkan, bahwa rujak cingur berbeda wujud dan rasa dengan rujak ulek di Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H