Tahun 1985 jembatan Suramadu belum ada, sehingga kami naik feri dari Pelabuhan Tanjung Perak ke Pelabuhan Kamal.
Selanjutnya jalan darat naik Colt T-120 yang melaju kencang sepanjang 17 km. Sopir angkutan umum itu mengabaikan bunyi peringatan kecepatan di spidometer.
Tiba di alun-alun Kabupaten Bangkalan menjelang petang. Seraya tersenyum simpul saya mengingatkan agar teman-teman menjaga leher masing-masing.
Serentak mereka celingukan dengan muka pucat, membayangkan clurit yang sekali tebas membuat kepala seseorang terpisah dari badan. Saya kira itu satu khayal berlebihan.
Tiba di rumah paman, semuanya membersihkan diri. Pemilik rumah mentraktir santapan malam di gerai sate Mak Cenneng di depan bioskop Purnama.
Besoknya saya mengajak mereka makan rujak. Serentak tiga teman mengangguk.
Menurut mereka, satu tawaran bagus di hawa siang yang panas menyergap. Udara Bangkalan lebih kering dan gerah. Berbeda dengan Bandung.
Setelah membuat bumbu, penjual di satu sudut jalan itu mulai mengiris mangga muda, kedondong, bengkuang, mentimun. Memasukkan sejumput sayur matang, potongan tempe tahu goreng dan cingur. Lalu mengaduk rata.
Wajah teman-teman tercengang tanpa bisa berkata-kata.
Penjual membelah sepi dengan berkata lantang khas orang Madura, "nekah ngangguy topak apah nase?" (Ini pakai ketupat atau nasi?)