Kendati kerap berkomunikasi melalui sambungan telepon, pertemuan langsung dengan sepupu mengalirkan cerita-cerita lebih hangat.
Berbincang mengingat masa lampau, ketika para pendahulu masih ada. Berulangkali didengar, tetapi selalu menghadirkan kenangan indah tiada habisnya.
Tidak terasa jam dinding menunjukkan angka empat. Kami segera berpamitan agar bisa salat Magrib di Kota Bogor.
Obrolan pun berpindah di luar rumah. Seperempat atau setengah jam, saya tidak sempat melihat penunjuk waktu di telepon genggam.
Singkat cerita, sampailah di tepi Jalan Raya Cireundeu menunggu angkot 106. Ternyata tidak banyak melintas angkot menuju Parung.
Sekalinya lewat, terisi penuh penumpang. Di sinilah baru terasa, angkot di Kota Bogor umumnya masih lebih nyaman dengan sedikit penumpang.
Mengamati bahwa 4 atau 5 angkot 106 tampak penuh, saya mengubah strategi. Menyeberangi jalan macet lalu naik angkot biru jurusan Lebak Bulus.
Seperti masa bujangan. Naik angkot dari Bogor ke Parung, lanjut ke Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Bedanya sekarang, mampir terlebih dahulu di Cirendeu. Tempat tinggal sepupu.
Sampai di Lebak Bulus pindah lagi ke angkot 106 jurusan Parung.
Sempat tercengang melihat perubahan-perubahan. Saya tidak mengenali lagi daerah paling selatan dari Jakarta tersebut. Bahkan saya tidak dapat mengindentifikasi letak gedung kantor saya dulu.
Ngetem sebentar di tepi jalan, angkot berisi penuh penumpang langsung melesat. Kembali melewati jalan macet tadi.