Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Makna di Balik Reputasi Kucing Bernyawa 9

31 Juli 2023   14:08 Diperbarui: 31 Juli 2023   14:51 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kucing "ngocol" di atas sepeda (dokumen pribadi)

Jumlah kucing di rumah kian bertambah, dari semula satu kucing liar menjadi 12 ekor.

Dua bayi kucing sedang dikeloni induknya terlihat di depan pintu dapur. Empat kucing anakan di dalam garasi, disembunyikan oleh kucing belang dari incaran kucing jantan.

Jadi sekarang ada 6 ekor anakan yang sedang disusui, 2 kucing remaja, 4 kucing dewasa yang "menetap" di halaman rumah.

Kucing sedang menyusui 2 anaknya (dokumen pribadi)
Kucing sedang menyusui 2 anaknya (dokumen pribadi)

Menetap? Para kucing lahir, tumbuh, bermain-main, mati, dan dikuburkan di halaman rumah.

Asalnya dari anakan kucing yang dibuang oleh warga tidak bertanggung jawab. Tidak dikasih makan, hati tak tega. 

Dalam perkembangan selanjutnya, kucing beranak-pinak. Juga "memperoleh amanah" dari warga pembuang kucing kampung.

Tidak ada satu pun dari kucing-kucing itu yang memiliki nama panggilan khusus. Hanya menyebut dengan, "pus, pus, pus," atau sesuai warna bulu kadang berdasarkan ukuran badan.

Ada sekurang-kurangnya 8 ekor dalam satu periode, ditambah kucing tetangga dan kucing entah dari mana yang datang di waktu-waktu tertentu, minta makan atau mengincar kucing betina di sekitar rumah.

Makin ke sini makin bertambah nilai pembelian pindang tongkol dan pelet pakan kucing. Mulanya terpikir tentang Biaya Hewan Peliharaan yang berbiak seiring dengan berkembang biaknya kucing.

Namun belakangan saya menghilangkan pikiran terkait biaya. Lantas membangun kerangka berpikir seperti ini: biarkan kucing-kucing liar itu hidup sehat dengan makan terjamin. Selebihnya biar alam yang menyeleksinya.

Bukankah mereka memiliki reputasi kucing bernyawa 9?

Ternyata berinteraksi dengan kucing menghadirkan pengalaman dan pemahaman.

Tingkah lakunya lucu, sekaligus menyebalkan bila buang kotoran sembarangan (mengingatkan saya pada orang yang buang sampah sembarangan). Sesungguhnya untuk mereka sudah disediakan kotak berisi pasir zeolit.

Satu hal saya kagumi. Kucing mampu melakukan gerakan akrobatik, yang saya kira sulit ditiru oleh manusia tanpa latihan tertentu.

Hewan berkaki empat itu kerap terlihat dengan santainya berjalan di ketinggian: atap rumah tetangga, pucuk tembok, atau tempat tinggi dan sempit lainnya.

Kemudian mereka melompat dari satu tempat ke tempat lain secara akrobatik. Menariknya, ketika melompat kakinya mendarat di permukaan dengan mulus. Bukan punggung atau kepalanya.

Selalu menjejak permukaan dengan kakinya, bagaimanapun cara kucing melompat. Bahkan bila secara sengaja dijatuhkan terlentang dengan punggung menghadap bawah, kakinya akan lebih dulu menyentuh permukaan bumi.

Saat kucing jatuh, mereka menekuk kaki belakang sedemikian rupa. Dua kaki depan bergerak menyentuh tanah, barulah dua kaki belakang mengikuti. Kira-kira begitu menurut penglihatan saya.

Sepertinya kucing tidak memedulikan cara ia jatuh atau dijatuhkan. Fokusnya adalah memastikan kakinya mendarat di tanah dengan mulus.

Mengamati hal itu, ingatan saya terlempar ke masa lalu. Masa-masa sulit penuh persoalan tidak berkesudahan.

Turbulensi pertama menimpa ketika badai krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998. Imbasnya, kantor tempat bekerja tiarap. Saya di-PHK akibat keadaan tidak menentu.

Tabungan menipis memaksa saya membuka usaha kuliner sederhana. Satu atau satu setengah tahun berjalan, usaha gulung tikar. Penyebanya, pengelolaan oleh orang lain tidak berjalan lancar.

Sebelumnya, saya mendelegasikan usaha itu untuk ke Bali, membantu seorang sahabat memindahkan restoran dari Sanur ke daerah Kuta.

Setelah itu saya menghadapi tahun-tahun sulit.

Untung saya diterima bekerja di satu kafe di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Bergabung dengan perusahaan tersebut membuat saya mantap mendalami bisnis kuliner.

Selanjutnya, saya belajar menjadi entrepreneur. Berkongsi. Membeli usaha restoran di jalan HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan.

Tidak bertahan lama. Kawan-kawan tergoda dan mengubah konsep usaha dari restoran menjadi klub (bar dan nightclub). Perubahan konsep yang ceroboh menghancurkan segalanya.

Sempat bekerja sebentar di sebuah agency, tetapi lebih lama bekerja serabutan. Terakhir menjalankan usaha sendiri di bidang pengadaan barang dan jasa untuk instansi pemerintah.

Ada saat berhasil dan menguntungkan, ada saat rugi ditipu teman. Pada waktu lain merugi akibat komplain pemilik pekerjaan (bohir). Terakhir, usaha pribadi ini terpaksa berhenti total. Saya tidak mampu melanjutkan akibat terkena serangan penyakit kronis.

Selama perjalanan hidup di atas ada banyak cerita keberhasilan, yang sebagian telah saya tuliskan di Kompasiana. Sisa cerita saya simpan sendiri.

Perjalanan hidup saya tidak mulus. Berkali-kali terhempas jatuh ke tanah. Badan dan kepala terantuk lebih dulu, bukan kaki yang menyentuh bumi.

Artinya, berkali-kali mengalami turbulensi, berkali-kali pula perhatian saya bertumpu pada penyebab persoalan hidup. Menyoalkan keadaan krisis moneter 1998, menyalahkan teman yang membawa ke Bali, menyesalkan perubahan konsep usaha, hingga akhirnya menggugat: kenapa saya diberi penyakit kronis?

Perangai akrobatik kucing-kucing lucu mengusik kesadaran, bahwa selama ini saya terlalu memikirkan cara jatuh. Memusingkan pemicu timbulnya persoalan hidup.

Saya harus switching. Beralih dari merenungkan "sebab" menjadi fokus kepada tujuan hidup dan keinginan, tanpa terusik dengan apa yang telah terjadi. Membumi. Sebagaimana kucing, saya mesti menapakkan kaki ke bumi.

Sekarang tujuan utama saya adalah menjadi lebih sehat setiap saat. Perkara sembuh seperti semula adalah urusan Sang Pemilik Hidup.

Tujuan dan keinginan lain adalah memperbanyak perbuatan baik, seraya menunggu panggilan terakhir. Harapan sela berikutnya adalah membagi pengalaman kepada para pembaca, selagi masih diberi kekuatan pikir.

Demikian makna yang diperoleh dari mengamati kelakuan para kucing, yang konon memiliki 9 nyawa. Mereka mendarat di tanah dengan kaki lebih dulu, bagaimanapun turbulensi yang dialaminya.

Jadi, jangan terpaku pada apa pun penyebab kesulitan hidup yang telah lampau. Lihat ke depan. Percayalah, satu ketika hal terbaik akan menghampiri hidup Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun