Sejumlah pegawai rutan KPK melakukan pungli --korupsi-- di institusi nan gagah dan disegani, yang merupakan penggawa pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebelumnya KPK angker bagi koruptor. Lembaga yang steril dari perilaku korup. Gagah memborgol koruptor. Saya membayangkan begini:
- Tidak ada kongkalikong dalam proyek/pengadaan barang dan jasa;
- Tidak ada mark-up;
- Tidak ada suap menyuap untuk memuluskan satu perkara;
- Tidak ada pungutan liar, bahkan petugas keamanan enggan mengutip uang parkir dari tamu.
Ternyata tidak begitu.
Staf Divisi Hukum ICW, Dicky Ananda, menyebutkan bahwa selama kepemimpinan Firli Bahuri, Ketua KPK, kepercayaan publik kepada KPK anjlok. Akibat kasus, misalnya, suap tahanan KPK (mantan Menpora Imam Nahrawi) kepada oknum pegawai KPK. Dan suap yang melibatkan Rubin Patuju (penyidik KPK) dalam pengurusan satu kasus korupsi (sumber). Â
Kasus-kasus tersebut membuat integritas KPK menjadi pudar di mata publik. Kian pudar dengan peristiwa pungli di rutan KPK
Lanjut Dicky, "... secara kelembagaan itu (KPK) akan semakin kehilangan legitimasinya di mata publik."
Integritas pudar membuat kesan angker KPK menjadi ambyar. Personil penggawa pemberantasan korupsi sekaliber KPK melakukan korupsi. Ternyata KPK tidak mampu mencegah korupsi di kandang sendiri. Melempem!
Boleh jadi membuat pegawai instansi lain merasa jemawa untuk melanggengkan pungli dan praktik korupsi. Bisa dibayangkan, tindak pidana korupsi bakal kian menggurita.
Saat masih aktif menjalankan usaha pengadaan barang dan jasa, perbuatan pungli dan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemda merupakan pemandangan lumrah.
Lumrah bagi pemborong dan pegawai Pemda yang terlibat. Aneh bagi orang awam, karena mereka tidak bisa melihat rahasia umum tersebut.
Umpama, demi mendapatkan informasi berharga tentang sebuah proyek, pemborong harus membayar sejumlah uang kepada pegawai yang berwenang memegang rahasianya. Pungli berlanjut dalam proses lelang suatu proyek.